Bagian 16: MENITI PELANGI

377 41 5
                                    

Buku itu sudah sangat lusuh, terbitan tahun 2003, tersempil di antara buku-buku lain di rak paling bawah perpustakaan ayah Hasna. Tampaknya jarang disentuh, jadi sudah agak berdebu. Posisinya agak menyembul di antara kawanan buku lain. Hasna memungut buku itu karena judul yang tertera di atas sampul menarik perhatian. Hasna teringat teman satu kelasnya yang suka membaca biografi. Tanpa ragu, dimasukkanlah buku tersebut ke tas sandangnya sebelum berangkat ke sekolah.

Setibanya di kelas yang masih sepi, Hasna mengeluarkan buku tersebut dan membacanya serius larik per larik kalimat. Mencoba memposisikan rasa dan kenyamanan yang biasa dilakukan teman di bangku belakangnya dalam diam memahami bahasa tulis. Setiap orang mungkin mempunyai berbagai alasan mengapa dia harus membaca buku. Setiap orang pada hakikatnya adalah pencari pembenaran dalam hidup. Buku menjadi salah satu alat yang paling sering dicari orang untuk itu. Walaupun zaman kemudian berubah dan buku tidak lagi berarti lembaran-lembaran kertas terjilid, tetapi alasan orang membaca tetap sama dengan alasan orang konvesional membaca. Kalau saat ini, Hasna membaca karena ingin menarik perhatian seorang pejantan. Mungkin itu adalah pembenaran yang sedang dia bangun. Memang alasan yang terdengar naif. Akan tetapi, karena alasan itu dia kemudian membaca dengan serius sebuah buku.

"MENITI PELANGI!"

Hasna tersentak kaget mendengar suara menggelegar di hadapannya. Segera diturunkan buku yang menutupi wajah. Di depannya kini berdiri pemuda yang biasa dia panggil Diwangkara. Tas ransel cowok itu masih tergantung di bahu. Wajah pemuda itu menyuguhkan pandangan yang tidak bisa diterjemahkan. Mata abu-abu pemuda itu terus menatap Hasna hingga membuatnya benar-benar bisa menikmati kelangkaan menyenangkan tersebut. Darah Hasna langsung berdesir dan pacu jantungnya jadi tak beraturan. Dia menundukkan pandangan untuk mengendalikan kejengahan.

"Meniti Pelangi karya A.T Mahmud?" Pemuda itu kembali bertanya.

Hasna kikuk sekaligus bersorak dalam hati karena telah berhasil menarik minat idamannya. "Iya, Wang. Sudah baca?"

"Belum."

"Ini autobiografi A.T Mahmud."

"Oh, iya? Bukannya dia cowok?"

Hasna agak mengerutkan kening. "Pak A.T Mahmud, Wang. Pencipta legendaris lagu anak-anak itu."

"Aku mengira penulisnya orang lain dan berjenis kelamin cewek,"

"Ini kan autobiografi. Tentu Pak A.T Mahmud sendiri yang menulis."

"Aku hanya berharap yang menulis buku itu perempuan, bukan laki-laki."

"Kenapa harus begitu, Wang?"

Diwangkara mengerjapkan mata beberapa kali seakan beberapa detik lalu memorinya telah menumpuk begitu banyak informasi mengalami hang dan segera di-recovery.

"Ya, aku hanya berpikiran begitu saja. Terus kamu beli buku ini di mana?"

"Punya Ayah."

"Ndak kamu beli?"

"Ndak. Ambil bae di rumah."

"Kalau beli kira-kira di mana?"

Hasna mengangkat bahu. "Ndak tahu juga, Wang. Buku ini terbitan 2003. Udah 10 tahun lalu. Aku nggak tahu juga buku ini diterbitkan ulang lagi apa ndak."

Diwangkara menggaruk-garuk kepalanya. Keningnya berkerut. Dia tampak berpikir keras tentang sesuatu. Tingkahnya benar-benar membuat penasaran.

"Kenapa?" tanya Hasna lagi.

Diwangkara kembali melakukan hal yang sama, menatap lama pada manik mata Hasna hingga membuat gadis itu kembali jengah.

"Buku itu milik bapakmu? Pemberian seseorang, kah?"

Hasna mengangkat bahu. "Entahlah."

"Hadiah ulang tahun dari ibumu... mungkin?"

Hasna menggeleng ragu. "Tidak tahu."

"Pemberian mantan kekasih bapakmu?"

Hasna makin mengerutkan kening. "Maksudnya?"

Diwangkara menyadari kebingungan Hasna. "Ah, sudahlah." Dia lalu menuju ke bangku barisan belakang lalu duduk.

Hasna memutar tubuh untuk berhadapan dengan Dewa Balakosa alias Diwangkara tersebut. "Ada sesuatu yang perlu aku ketahui, Wang?"

Diwangkara diam, berusaha bersuara tetapi kemudian dibatalkan.

"Aku perlu tahu kalau itu berhubungan dengan Ayahku, Wang."

Diwangkara langsung tersadar telah menimbulkan persepsi lain bagi Hasna. "Maaf, Hasna. Ini tidak seperti yang kau pikirkan. Ini bukan tentang Pak Alfian. Ini tentang aku. Aku sedang mencari seorang dewi yang memiliki kekuatan meniti pelangi."

Hasna kembali mengerutkan kening.

"Ah. Sudahlah, Hasna. Kau tidak akan mengerti," sahut Dewa Balakosa sambil mengibaskan tangannya.

"Apakah itu hanya tentang sebuah novel fiksi atau,...?"

Dewa Balakosa menatap Hasna dengan dingin. "Aku sedang tidak ingin membahas hal itu sekarang." Dia selanjutnya sibuk mengambil buku di dalam tas dan mulai mengerjakan sesuatu di atas buku tulisnya.

"Belum mengerjakan PR?"

Dewa Balakosa tidak menjawab.

Hasna hanya menghela napas sambil membalik tubuh. Sebuah Memoar A.T Mahmud Meniti Pelangi kembali dia baca. Nyaris lima belas menit terlalui bersama dalam diam. Suara teman sekelas yang mulai berdatangan kemudian meramaikan suasana. Hasna melirik pintu masuk. Hatinya mulai gelisah karena Fitri belum juga muncul.

Setiap bangku mulai terisi dan hanya satu dua tampak kosong. Bel tanda masuk pun berbunyi. Berbarengan dengan itu, terlihat sosok Fitri muncul dengan setengah berlari. Hasna melirik Diwangkara dari sudut ekor matanya. Pemuda tampan itu masih sibuk mengerjakan tugas rumah.

"Hasnaaa, hampir bae gerbang ditutup Pak Amin...." Fitri terengah-engah menyempil di belakang Hasna untuk menduduki kursinya.

"Begadang lagi?"

"Iyo, orderan lagi banyak."

Di usia belia, ketika kebanyakan remaja lebih peduli dengan tempat tongkrongan dan teman bergaul, Fitri lebih peduli dengan dunia tekstil dan fashion design. Dia merancang baju sekaligus menjahitnya sendiri. Pelanggannya sudah cukup banyak. Desainnya manis dan cocok untuk anak remaja kekinian. Terkadang dia juga memajang pakaian produksinya di Facebook.

"Hasna, pinjam PR-mu. Aku lupa ngerjokannyo." Tiba-tiba Maya tergopoh-gopoh mendatangi meja mereka.

"Lah, bentar lagi, May."

"Please lah, Hasna...."

Hasna lalu mengeluarkan buku PR Matematika dan menyerahkan ke Maya. Selain Fitri, Maya juga adalah teman dekat Hasna. Mereka bertiga sering janjian untuk menonton film terbaru di bioskop, belajar kelompok, atau sekedar cuci mata di mall.

"Makasih, Na... aku pasti ligat nyalinnya. Nanti sekalian aku kumpulkan punyamu." ujar Maya sambil mengedipkan mata.

Hasna mengangguk sambil tersenyum. Dia melirik lagi teman di bangku belakang. Pemuda itu tampak sudah kelar menjawab PR matematika tanpa mengalami suatu kendala apapun. Hasna menghela napas. Tadi, dia sempat merasa cukup berhasil menjalin komunikasi dengan pemuda itu untuk beberapa saat.

Balakosa [Telah Terbit]Where stories live. Discover now