Bagian 9: 18 TAHUN

416 52 2
                                    

Dewa Balakosa kini telah menginjak usia 18 tahun. Mungkin usia yang terlalu matang untuk duduk di kelas X. Pendamping memandang sosok dampingannya dengan terenyuh. Tekanan ekonomi sebagai anak yatim piatu membuat Dewa Balakosa harus hidup dengan memaklumi banyak hal.

Hanya seorang nenek tua yang mengurusnya dengan segenap kemampuan sebagai pembantu Koko Aliong, juragan barang rongsokan yang sangat berbaik hati memberikannya gaji cukup dan tempat tinggal gratis. Terlalu banyak merasa diberi, Wak Timah pun sungkan untuk meminta yang lain pada Koko Aliong, termasuk biaya sekolah.

Koko Aliong yang kemudian menyadari sendiri pertumbuhan Dewa Balakosa. Waktu itu, Koko Aliong tengah memperhatikan Dewa Balakosa yang selalu semangat membantu sang nenek di gudang pengepulan barang bekas miliknya.

"Wak, berapa umur Diwang sekarang?" Tanya Koko Aliong di sela-sela kesibukan menyusun barang rongsokan.

"Delapan tahun, Ko."

"Haiya, kenapa pula dia belum sekolah? Jangan jadikan dia buruh barang buruk, Wak. Ganteng dia nih! Kasihan lah. Kalau sekolah, mana tahu dia bisa jadi walikota atau bupati, Wak."

Wak Timah cuma tertawa. "Dari mana bayar sekolah, Ko? Sekarang semua serba mahal. Ndak kayak zaman Koko. Beli seragam, tas, sama sepatu bae harus mikir berapa kali saya, Ko," ujar nenek yang tangannya masih gesit menyusun botol-botol plastik ke dalam karung dengan bantuan Dewa Balakosa.

"Haiya, kalau masalah biaya, seharusnya Wak ngomong sama saya. Diwang ini sudah saya anggap ponakan sendiri. Sama kayak Wak, sudah jadi sanak saya."

Nenek jadi terharu. Gerakan tangannya sempat terhenti beberapa saat.

"Masukkan Diwang ke SD dekat sini saja, Wak. Soal baju, tas, dan sepatu nanti saya carikan di rumah. Banyak barang Merlin dan Robert yang sudah tidak terpakai."

Betapa girang hati Dewa Balakosa mendengar hal itu. Dia mencium tangan Koko Aliong berkali-kali dan berjanji tetap akan membantu di gudang pengepulan tersebut walaupun sudah sekolah.

Koko Aliong balas berjanji akan menyekolahkan Dewa Balakosa hingga ke bangku kuliah. Nenek langsung menangis dan bersujud di kaki Koko Aliong. Pendamping pun ikut terharu menyaksikan peristiwa itu.

Namun, mungkin sudah takdir Dewa Balakosa. Ujian kembali datang ketika Koko Aliong meninggal dunia pada saat dia baru saja menamatkan bangku SMP. Terpaksa bantuan sekolah pun terputus dan Dewa Balakosa harus rela tidak melanjutkan sekolah. Masih syukur istri Koko Aliong tidak mengusir mereka dari rumah pengepulan barang rongsokan tersebut. Wak Timah masih bisa tinggal gratis dan bekerja. Akan tetapi upah yang diberikan semakin tidak sepadan.

Dewa Balakosa kemudian memutuskan untuk tidak lagi membantu di gudang pengepulan barang bekas karena tidak mendapat upah. Dia kemudian mencari sendiri biaya sekolah dengan kerja serabutan, sebagai tukang bengkel, tukang panggul, tukang bangunan, dan banyak lagi. Hingga setahun kemudian, dengan hasil keringatnya sendiri dia berhasil mendaftar ke SMA 88. Sebuah sekolah favorit yang diimpikan hampir semua anak sebaya di tempatnya saat itu.

"Diwang...." Suara parau nenek membangunkannya. "Sudah pagi. Bersiaplah ke sekolah."

Dewa Balakosa menggeliat di atas dipan tak berkasur. Sambil mengucek mata, dia bangkit berdiri lalu melangkah sempoyongan ke kamar mandi.

"Jam berapa kau pulang tadi malam?" tanya Wak Timah.

"Dua mungkin, Nek." Langkah Dewa Balakosa terhenti di depan pintu kamar mandi.

"Berhentilah main ke warnet terus. Nenek dengar cerita orang, ada anak mati gara-gara kebanyakan main game online."

"Dengar dari mana, Nek?"

Balakosa [Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang