Bagian 10: BALAKOSA DALAM PERTEMUAN TAK TERDUGA

420 44 3
                                    

Minggu pagi, Dewa Balakkosa dijemput Bang Japri dengan motor Honda CB 100 untuk merehab rumah pelanggan di Seberang. Memasuki Sekoja atau lebih sering disebut orang lokal dengan Seberang, Dewa Balakosa menemukan wajah asli Melayu Jambi beserta adat istiadatnya. Walaupun berjarak hanya beberapa ratus meter dari pusat kota, tetapi Sekoja jauh tertinggal dari bagian lain kota Jambi. Tidak ditemukan mall, gedung tinggi atau pun bangunan modern. Kebanyakan yang berdiri adalah rumah panggung khas Jambi yang terbuat dari kayu. Beberapa rumah beton mulai berdiri satu-satu di antara rumah panggung sebagai wujud modernitas Seberang. Begitu tiba di Sekoja, Dewa Balakosa merasa telah berjalan jauh keluar kota, padahal hanya tiga puluh menit menggunakan sepeda motor atau lima belas menit menyebrang dengan ketek sudah sampai di pusat perbelanjaan kota Jambi. Seberang adalah kampung di tengah kota.

Rumah panggung yang akan mereka rehab mengusung urban style. Pemiliknya berhasil memadukan unsur tradisional Melayu Seberang dengan arsitektur kekinian. Bangunan tidak lagi sepenuhnya dari kayu, tetapi terdapat pula unsur beton dan besi yang harmonis. Dewa Balakosa tidak sabar untuk menengok interior di dalam rumah setibanya mereka di depan pintu. Terasa betul apabila pemiliknya sudah lama merantau dari Seberang dan kembali ke kampung halaman bersama berbagai pengalaman yang dia bawa.

"Permisi." Bang Japri memanggil tuan rumah dari depan pintu luar yang terbuka tetapi terhalang teralis pintu.

Seorang remaja mendatangi mereka. Teralis pembatas pintu dibuka dan Dewa Balakosa menemukan wajah yang biasa ditemuinya di sekolah dengan ekspresi melongo.

Bang Japri sempat menyikut Dewa Balakosa, menyadari untuk sekian detik kalau posisi mereka bertiga sama-sama terdiam.

"Ini rumah kamu, Hasna?" Dewa Balakosa terpaksa menyapa.

"I-iya, ini rumah orangtuaku. Kamu... benar-benar Diwang?" Hasna seolah masih tak percaya dengan penglihatannya.

"Ya, iyalah. Memang hantu?!" jawaban Dewa Balakosa membuat Bang Japri kembali menyikutnya.

"Teman sekolah, Bang. Satu kelas," jawab Dewa Balakosa santai.

Bang Japri mengangguk-angguk kemudian beralih ke Hasna sambil tersenyum lebar, "Ada Bapak, Pik?"

"Oh, ada. Silahkan masuk dulu."

Belum sempat Hasna memenuhi permintaan Bang Japri untuk memanggil ayahnya, suara seorang lelaki dari dalam rumah terdengar.

"Siapa, Hasna?"

"Saya, Pak. Japri," sahut Bang Japri mendahului Hasna yang sudah membuka mulut hendak menjawab.

Sesosok lelaki bertubuh tinggi muncul sambil tersenyum. "Oh, Bang Japri. Ayo, langsung saja ke dalam."

Dewa Balakosa yang sempat ingin menikmati interior rumah jadi teralihkan perhatiannya pada lelaki yang sekarang berdiri tepat di hadapannya.

"Al-Alfian. Pak Alfian. Benar, kan? Saya tidak salah?"

Lelaki yang dimaksud mengangguk, tetapi sambil menunjukkan ekspresi heran.

"Ternyata benar Bapak tinggal di Jambi."

Ayah Hasna tersenyum meskipun masih bingung dengan arah pembicaraan tersebut.

Tanpa persetujuan siapa pun tiba-tiba saja Dewa Balakosa memeluk lelaki itu. Sontak saja hal itu membuat semua orang di ruangan tersebut bingung.

Dewa Balakosa melepas pelukannya. Dia lalu menjabat ayah Hasna dengan erat, "Saya Diwangkara, penggemar berat buku-buku Bapak. Apalagi buku berjudul Jangan Takut Bermimpi. Saya sudah menebak dari tulisan-tulisan Bapak yang sangat dekat dengan kehidupan dan lingkungan orang Jambi, pasti domisili Bapak di suatu daerah di Provinsi Jambi, dan saya sangat tidak menyangka kalau Bapak tinggal di Seberang. Ternyata, jarak kita hanya beberapa kilo saja, Pak Alfian." ujar Dewa Balakosa tertawa lebar.

Ayah Hasna ikut tertawa dan mulai paham ke mana arah pembicaraan berlabuh. "Terima kasih sudah membaca."

"Bapak tahu? Buku-buku Bapak itu sudah menginspirasi saya. Memberikan semangat yang luar biasa buat saya," mata Dewa Balakosa tampak berkaca-kaca.

Pak Alfian tersenyum tanpa bisa melepaskan tangannya dari genggaman Dewa Balakosa.

"Saya membaca seluruh buku bapak. Novel-novel Bapak. Mazaya, Rembulan di Atas Sajadah, Cinta Dunia, Anak SMA Tanpa Pacaran, Mbok Juminten Bukan Pelayan Seksi...."

Ayah Hasna semakin besar tertawa.

"Bapak sudah menulis buku baru lagi?"

"Iya, sedang."

"Bapak harus menandatangani bukunya untuk saya,"

"Oke." Pak Alfian memasrahkan saja tangannya tak terlepas dari jabatan erat Dewa Balakosa.

"Rumah Bapak benar-benar menggambarkan tulisan Bapak."

"Oh, ya?"

Dewa Balakosa mengangguk. "Unik dan menarik. Bapak bukan asli Seberang, kan?"

"Bukan. Isteri saya yang asli Seberang."

"Rumah ini tidak saja mengandung nuansa Seberang yang kuat, tetapi juga terselip nuansa Jawa, Bali, dan juga Kalimantan."

"Oh ya?"

Dewa Balakosa mengangguk sebagai jawaban.

Sebelum Dewa Balakosa berbicara lagi, Ayah Hasna buru-buru bersuara, mencoba untuk mengambil alih kendali pembicaraan. "Ngomong-ngomong, berapa umurmu?"

"Saya teman sekelas Hasna, Pak."

Pak Alfian tidak langsung memberi tanggapan. Dia menoleh ke arah Hasna sejenak, kemudian berpaling lagi kepada Dewa Balakosa. Apabila dia memandang Hasna sedikit lebih lama, niscaya dia akan memergoki semburat merah muda di pipi Hasna. "Oh, kamu seumur Hasna, ya? Saya suka sekali kalau anak SMA suka membaca. Apalagi anak Jambi, tapi perhatikan bacaanmu!"

Dewa Balakosa menyengir sambil melepas tangan Pak Alfian.

Lelaki yang saat ini mengenakan kemeja putih tulang menjadi tertawa lega. "Hebat kamu! Hasna saja tidak pernah membaca novel atau buku saya."

"Masa, Pak? Rugi betul dia." Dewa Balakosa melirik Hasna.

Kemerahan di pipi Hasna semakin menjalar bahkan hingga telinga. Kulitnya yang putih membuat semu itu menjadi lebih jelas.

"Lah, kamu keneknya Bang Japri?" Pak Alfian kembali mengalihkan pembicaraan.

"Iya, Pak."

Ayah Hasna langsung mengacungkan jempol memuji, yang disambut Dewa Balakosa dengan cengiran kuda. Pemuda itu jadi jumawa dipuji sang idola.

Buku ayah Hasna berhasil membuatnya jatuh cinta pada membaca. Berawal dari buku-buku tulisan lelaki itu Dewa Balakosa mengenal tulisan-tulisan lain. Wajar dia merasa sangat bahagia bertemu Pak Alfian, ayah impian yang membelainya melalui kata-kata dan mendidiknya melalui lembaran-lembaran kisah. Pandangan Dewa Balakosa terhadap Hasna pun otomatis menjadi berubah dengan kehadiaran Pak Alfian di antara mereka. Dewa Balakosa merasa Hasna menjadi gadis yang menarik untuk didekati sekarang. Terutama menarik karena Hasna memiliki apa yang tidak dia punyai. Meskipun begitu, baginya, Hasna bukan tipe perempuan masa depan yang ia impikan. 

Balakosa [Telah Terbit]Where stories live. Discover now