Bagian 5: HARI KELAHIRAN

613 51 0
                                    

Surti sering mengamuk apabila Wak Timah memasung kakinya. Sementara apabila rantai tidak dipasang, perempuan kurang waras itu gemar keluar rumah tanpa tujuan. Untung kemudian Koko Aliong memasang kanopi dengan full teralis pada teras depan untuk memperluas tempat penampungan barang, sehingga mencegah Surti keluar rumah. Namun, permasalahan baru kemudian muncul, Surti jadi suka memanjat dan melompati tumpukan barang rongsokan. Seringkali Wak Timah dan Koko Aliong memperingati Surti, tetapi dia tidak pernah jera. Dia menyukai tumpukan barang yang disusun tinggi. Semakin tinggi tempat yang bisa dia naiki, hatinya akan semakin girang. Bukan sekali dua kali Surti terjatuh dan dia hanya meringis sebentar lalu mengulangi hal itu lagi. Karena si nenek merasa tidak mampu lagi mengendalikan Surti, akhirnya ia memanggil bidan secara rutin, tiga hari sekali, demi mengecek kondisi kandungan Surti hingga tiba waktu persalinan.

Tiga bulan dilalui Pendamping dengan penuh kekhawatiran memperhatikan tabiat Surti tersebut dan hari yang sangat ditunggu Pendamping maupun Wak Timah pun tiba. Proses persalinan akan berlangsung di kamar Surti dengan pertolongan bidan dan pembiayaan Koko Aliong. Mungkin tindakan yang dipilih Wak Timah dan bidan termasuk berani dan beresiko tinggi karena tidak melibatkan dokter spesialis kandungan dan jiwa untuk membantu proses persalinan tersebut. Namun pikir Wak Timah, permasalahan ekonomi lebih mempunyai resiko tinggi untuk menjalankan semua prosedur benar itu. 

Wajah tua Wak Timah tampak sangat cemas melihat cucu semata wayangnya meraung kesakitan. Berkali-kali bidan memberi instruksi membantu, tetapi Surti tidak menggubris. Si nenek gantian menyemangati cucunya, tetapi Surti malah meraung semakin menjadi dan menendangkan kaki sekuat tenaga ke segala penjuru. Bahkan, si nenek sempat tersungkur akibat terjangan Surti. Nenek pun bangkit dengan susah payah dibantu bidan.

Pendamping berdiri menonton dengan perasaan yang campur aduk melihat pertarungan hidup mati tersaji di depan mata. Apalagi ditambah begitu banyak kabut hitam menyelubungi tubuh Surti. Kabut hitam itu bergelung-gelung terutama sekali di daerah leher, perut, dan antara paha sebagai jalan keluar sang bayi. Kabut hitam itu semakin menjadi pekat apabila Surti berteriak kesakitan.

Pendamping tersurut ketika melihat kabut itu semakin menumpuk dan memenuhi tidak saja di atas permukaan tubuh Surti tetapi juga hingga ke langit-langit rumah. Kabut itu membentuk sebuah wajah tanpa mata dan mulut kecuali hanya sebuah rongga yang menganga dan melotot ke arahnya. Wajah itu mengaum semacam harimau, suaranya terdengar begitu mengerikan.

Makhluk apa itu gerangan?

"Aaah...." Suara Surti kembali mengerang hebat. Badannya kini diputar-putarnya seperti gasing.

"Surti, anakmu akan lahir. Jangan bertingkah seperti itu!" teriak bidan dengan peluh sebesar biji jagung di dahi. Si bidan menggamit ketiak Surti kemudian menarik tubuh Surti agar lebih dekat ke kepala dipan. Dia berusaha menahan tubuh Surti agar tidak terus bergerak. Diikatnya kedua tangan Surti di kepala dipan, sehingga Surti tidak lagi bisa berputar-putar.

Kini, Surti hanya bisa menerjangkan kedua kakinya.

"Surti, tenangkan dirimu. Kau tidak saja membahayakan si bayi tetapi dirimu sendiri!"

"Sakiiit...." Surti tidak kalah berang membalas teriakan si bidan.

"Iya, memang melahirkan itu sakit. Tapi coba kau tahan, kalau tidak, anak di dalam rahimmu itu tidak bisa dikeluarkan, atau kau kukirim saja ke rumah sakit untuk dioperasi?"

"Aku tidak mau melahirkan! Aaahg! Sakiiit...."

"Kuatkan dirimu, Nak. Berjuanglah sebentar. Setelah semua selesai, rasa sakitnya bakal hilang." bujuk Wak Timah.

"Aaagh...." Surti mengerang dan mengembus-embuskan napasnya. Perempuan kurang akal itu kemudian mengejan panjang sampai kehabisan napas. Diulangnya lagi mengejan setelah cukup mengumpulkan napas. Berulang kali hal tersebut dilakukan, tetapi usahanya terus gagal.

"Ayo, Surti. Kepala bayimu belum muncul sedikitpun."

"Aaagh...." Surti mengejan kembali sekuat tenaga. Wajahnya benar-benar memerah. Urat-urat di wajah dan di leher menyembul. Peluhnya berbulir-bulir mengalir. Dia menyerah. Dia benar-benar telah kehabisan napas.

"Surti, lakukan lagi!"

"Sakiiit... Aaagh...." Suaranya sudah terdengar parau.

Pendamping merasa jatuh iba melihat usaha perempuan gila itu. Sementara bayangan kabut hitam yang menyelimuti tubuh Surti kini tidak saja memiliki wajah tetapi juga tubuh.

Kabut itu menjelma menjadi makhluk dalam wujud kabut yang menyeringai di atas tubuh Surti. Tangannya hitam, berjari-jari memanjang seperti iblis. Ujung jari-jari itu runcing. Dia mencengkram leher Surti.

Si perempuan gila meronta, di antara rasa sakit yang harus ditanggungnya karena si bayi hendak lahir, dia pun harus melawan makhluk tak kasat mata itu. Surti hanya merasakan napasnya tersengal dan sesuatu menekan demikian kuat batang lehernya. Surti menggapai-gapai sesuatu di lehernya yang tak tampak.

"Surti, ada apa?" Wak Timah memandang bingung tingkah Surti. Dilihatnya lidah cucunya terus menjulur. "Kenapa dia?" tanya sang nenek pada bidan.

Si bidan tak kalah bingung dengan Wak Timah.

Dewi Aruna, bantulah. Kumohon. Selamatkan Dewa Balakosa.

Pendamping berdoa. Kedua matanya dipejamkan. Dia menyalurkan energi ke perut Surti, berharap energi itu mampu membantu Dewa Balakosa menemukan jalan keluar. Pendamping meningkatkan energi ketika merasakan perlawanan dari makhluk kabut. Makhluk itu mengerang. Pendamping melipatgandakan lagi kekuatan melawan. Makhluk kabut semakin kuat membalas. Pendamping memaksimalkan penyaluran tenaga dalamnya. Tubuh Pendamping jadi memanas, bahkan kedua tangannya hingga ke siku berubah warna kehijauan. Iris zamrud Pendamping bercahaya hijau menyilaukan hingga menutupi sklera. Pendamping merasakan dorongan yang sangat kuat dari lawan sehingga membuat pijakan kuda-kudanya terus bergeser mundur. Pendamping berteriak berharap mampu meningkatkan energi yang dia miliki, tetapi sia-sia, karena dia sudah berada di level tertinggi.

Tiba-tiba Pendamping merasakan energi lain muncul dari tubuh Surti. Energi yang sangat kuat. Energi itu menyalurkan energi bantuan pada energi Pendamping, sehingga Pendamping merasakan tubuhnya mengambang dan dipenuhi cahaya terang kebiruan. Pendamping mengalihkan energi itu kini kepada makhluk berkabut yang terus menyelubungi tubuh Surti sampai kemudian tubuhnya terpental karena ledakan gaib terjadi.

Kabut hitam yang menyelubungi tubuh Surti pun sirna bersamaan dengan terdengarnya suara bayi menangis kencang. Bayi merah yang masih terikat plasenta telah berhasil berjuang tiba di dunia sebagai calon manusia. Bayi itu adalah Dewa Balakosa.

Pendamping tersenyum bahagia begitupun si nenek dan si bidan.

"Jantan, Nek. Luar biasa elok!" ujar si bidan setelah memotong plasenta yang memisahkan si ibu dan bayi. Si bidan menggendong bayi merah yang terus mengoek dan meronta.

Wak Timah melihat cicitnya dengan bibir bergetar, "Iyo, gagah nian...."

Sementara itu, Surti terkulai di pembaringan. Tampak tidak ada lagi pergerakan. Surti diam dengan mata terpejam. Sisa-sisa perjuangan tergambar jelas di wajahnya. Si nenek menghampiri sang cucu yang bersimbah darah lahiran, dia menyentuh tangan Surti. Wak Timah mengerutkan kening ketika menyadari sekujur tubuh cucu gilanya sedingin es.

"Kenapa dia?" tanya Wak Timah panik.

Si bidan beralih ke ibu si bayi untuk memeriksa keadaannya. Setelah yakin dengan mengecek Surti beberapa kali, sebaris kata meluncur dari bibir sang bidan dengan parau. "Surti... meninggal, Nek."

Balakosa [Telah Terbit]Where stories live. Discover now