Chapter 9: Human (Manusia)

6.2K 841 201
                                    


Warning: alkoholisme


--


Hari ini hampir berakhir. Wei Ying sudah membiarkan minggu ini menyeretnya, memaksanya menjalani hari demi hari karena hanya itulah yang bisa dia lakukan. Kemuraman musim dingin di luar sana juga tidak membantu sama sekali. Di mana-mana terlihat kelabu, tak bernyawa, dan hampa. Semua pelajarannya melebur menjadi satu memori yang akan terlupakan nanti malam. Di hadapannya, wajah-wajah kosong para murid sungguh seperti apa yang dia rasakan dan Wei Ying tidak punya tenaga yang tersisa untuk mengubahnya.

Dia menatap jam dinding di seberang ruangan. Kurang dari satu jam tersisa sampai hari ini berakhir. Melelahkan sekali.

Wei Ying bicara tak keruan dan membuat para murid menyalin paragraf-paragraf tak berguna ke buku mereka. Andai saja dia punya tenaga untuk membuat kegiatan ini lebih menyenangkan demi mereka—tapi tidak. Belakangan ini rasanya yang dia lakukan hanyalah bangun, melakukan sesuatu, tidur, bermimpi buruk. Lagi dan lagi. Apa Wei Ying akhirnya sudah mencapai titik krisis di pertengahan hidupnya? Dia baru berusia tiga puluh satu, tidak bisakah menunggu dua puluh tahun lagi?

Hanya tersisa setengah jam lagi saat ketukan lembut membuyarkan lamunannya. Wei Ying mendongak dan mengerutkan kening pada resepsionis sekolah yang sedang berdiri di ambang pintu.

"Maaf mengganggu, tapi bisakah saya bicara dengan Jin Ling?" tanyanya.

Wei Ying berpaling ke Jin Ling. "Ada masalah apa?"

Resepsionis itu hanya menggeleng. "Dia harus meninggalkan sekolah lebih awal hari ini. Tolong kemasi barang-barangmu, Jin Ling. Pamanmu sudah di sini."

Suara wanita itu terdengar serius. Wei Ying tahu resepsionis ini; bukan namanya, tapi dia tahu seperti apa orang ini. Setiap kali Wei Ying melintasinya, wanita itu akan selalu menggosip atau bermalas-malasan. Aneh rasanya mendengar dia serius begini.

Kerutan di kening Wei Ying semakin dalam. Dia menatap Jin Ling yang kini melirik antara dia dan resepsionis itu. Untuk sekali ini bocah itu tidak cemberut pada Wei Ying. Matanya membelalak lebar, bingung, dan itu membuatnya semakin terlihat muda. Beberapa saat kemudian, dia pun mulai berkemas.

Wei Ying tidak mengucapkan apa-apa saat Jin Ling bangkit berdiri. Dia menyaksikan pemuda itu meninggalkan kelas, tidak bisa menyingkirkan perasaan yang sudah bernanah dalam dadanya. Masih ada setengah jam sampai sekolah berakhir. Jam kerja Jiang Cheng bahkan belum selesai. Apa pun itu, pasti benar-benar serius.

Dia hanya bisa memikirkan satu hal. Sepanjang sisa pelajarannya terasa buram.

Dan semakin memburuk saja begitu hari berakhir. Wei Ying harus pulang, dia harus bersyukur pada sedikitnya waktu untuk beristirahat. Dia malah tidak bisa menyingkirkan pikirannya dari hal buruk yang sudah terjadi dan dia harus tahu—tapi bagaimana? Siapa yang bisa dia tanyai? Pasti ada alasan kenapa Jin Ling dipanggil untuk meninggalkan kelas lebih awal.

Wei Ying tidak langsung pulang. Justru dia malah melakukan hal bodoh dan sembrono dan putus asa, tapi hanya itulah yang bisa dia lakukan. Dia menuju ke apartemen Jiang Cheng, menunggu di pintu masuk dan meneriaki diri sendiri bisa-bisanya dia memikirkan hal ini.

Wei Ying tidak tahu caranya bisa masuk ke dalam. Tidak mungkin Jiang Cheng akan membiarkannya masuk—tidak mungkin dia akan bicara dengannya. Ini bodoh. Ini menyedihkan.

Tapi dia tidak bisa menyerah. Bagaimana mungkin dia melangkah pergi saat tahu ada sesuatu yang bisa saja terjadi? Bagaimana mungkin dia mengabaikannya? Wei Ying mondar-mandir di luar apartemen, mencoba berpikir, mencoba menenangkan diri. Tidak peduli seperti apa dia mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa ini paranoid, jantung Wei Ying terus saja berdegup kencang memukul rusuk dan yang bisa dia ingat hanyalah YanLi, YanLi, YanLi.

monotone (terjemahan)Όπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα