Chapter 15: Clarity (Kejernihan)

7K 816 470
                                    


Wei Ying tidak bisa berhenti menangis. Dia merasakan lengan Jiejie di sekeliling tubuhnya, menariknya makin dekat seperti yang biasa dia lakukan saat masih muda dulu. Segalanya serasa langsung tercurah padanya; sepuluh tahun lebih menghindarinya, tapi Jiejie seakan-akan tidak pernah menghilang. Wei Ying tidak tahu sudah berapa lama dia menangis di pundaknya. Saat ini dia tidak lagi mempedulikan kebanggaannya. Lagipula dia memang tidak pernah bisa menyembunyikan perasaannya di dekat Jiejie.

Setelah begitu lama rasanya, isak tangis Wei Ying akhirnya menjadi sesenggukan. Dia terisak beberapa kali, masih menyandarkan kepala ke pundak YanLi. Tidak pernah sekali pun wanita itu berhenti menghiburnya, memberitahunya lagi dan lagi bahwa segalanya baik-baik saja. Dia terus mengusap-usap punggungnya, menunggunya bergerak lebih dulu. Wei Ying terlalu takut untuk menatapnya sehingga hanya bisa diam di sana sampai denyut nadinya menenang dan air matanya mengering.

Kemudian, dia berdeham dan perlahan menarik diri. Dia terus menunduk, terpaku pada seprai putih rumah sakit ini.

Jiejie mengulurkan tangan padanya dan butuh segenap pengendalian diri bagi Wei Ying untuk tidak menjauh. YanLi menyelipkan sehelai rambut lelaki itu ke belakang telinga dan membelai pipinya. Bahkan tanpa melihat pun Wei Ying tahu kakaknya ini sedang tersenyum.

"Lihat dirimu," ujarnya. "Sangat tampan. Jangan menangis, kemarilah."

Wei Ying tidak lagi menangis, tapi jika YanLi terus bicara, dia mungkin akan menangis lagi. Wei Ying akhirnya mengumpulkan segenap keberanian untuk menatapnya.

"Jiejie, maafkan aku—"

"Sudah kubilang, kau tidak perlu meminta maaf," dia menyela.

Wei Ying menggeleng putus asa. "Tidak, kumohon. Biarkan aku meminta maaf. Ini semua salahku, Jiejie. A-Aku sudah menghancurkan pesta pernikahanmu dan melukaimu—"

"A-Ying, itu hanya kecelakaan."

"Tetap saja tidak akan mengubah apa pun! Kau sudah di sini selama lebih dari sepuluh tahun—dan—dan ka-kau masih..."

Suaranya memudar saat YanLi menepuk-nepuk kepalanya, mencoba menghaluskan helai rambut yang mencuat dan tidak pernah diam di tempat. Dia sudah terbiasa melakukan ini sejak mereka remaja, menertawakan betapa mustahilnya merapikan rambut Wei Ying. Fakta bahwa dia masih melakukan ini walaupun lelaki itu sudah berusia tiga puluh tiga tahun membawa senyum kecil di wajahnya.

"Aku senang bisa melihatmu lagi," ujar Jiejie. "Kau sudah besar."

Jiejie menggenggam tangannya. Tangan miliknya sendiri terasa kurus dan rapuh, tapi sekarang jauh lebih hangat; masih lembut seperti yang dia ingat.

"A-Ying, selama ini kau sudah memendam semua ini?" tanyanya.

Wei Ying meneguk ludah, tidak menjawab. YanLi pasti sudah tahu.

Dia menghela napas dan meremas tangannya. "Sudah, sudah. Tidak apa-apa. Kau sudah di sini sekarang. Tidak apa-apa."

Tak peduli sebahagia apa dia bisa melihat kakaknya lagi, Wei Ying masih tidak mampu menyingkirkan pemikirannya. Apa memang ini? Apa memang ini yang sudah dia hindari selama ini? Dia nyaris berharap Jiejie membencinya; memberinya apa yang pantas dia dapatkan dan lebih lagi. Rasanya tidak benar segalanya mengarah ke arah sini di saat dia sudah merasa khawatir selama sepuluh tahun lebih.

Entah bagaimana, ini lebih sulit dihadapi dari apa yang dia takutkan. Dia tidak tahu lagi harus bagaimana.

"Katakan; bagaimana kabarmu? A-Xuan bilang kau sekarang jadi guru."

Wei Ying membuang muka. Dia ragu YanLi akan sudi mendengarkan apa yang sudah dia lakukan selama sepuluh tahun ini.

"Yeah. Aku... Aku beruntung. Temanku yang dulu tinggal denganku menjadi kepala sekolah di sekolah kami. Bisa dibilang dia yang memberiku pekerjaan ini," dia menjelaskan.

monotone (terjemahan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang