Chapter 11: Shatter (Hancur)

6.4K 813 271
                                    


WARNING: kekerasan, penyalahgunaan alkohol, angst berat, pemikiran bunuh diri, seks di bawah pengaruh alkohol!



--



Wei Ying nyaris tidak bisa mengingat bagaimana jalannya pemakaman. Hari-hari berlalu dan dia tidak bisa merasakan apa-apa selain rasa hampa selama seminggu ini. Begitu kembali ke Yunmeng, mereka tidak disambut oleh suara pertengkaran yang seperti tak mau berakhir itu; mereka hanya disapa keheningan. Wei Ying tidak menyadari betapa dia membenci keheningan itu hingga saat ini.

Dia teringat berjalan melewati kamar-kamar, menatap dinding yang tidak terpajang foto keluarga, apa pun itu yang menunjukkan siapa yang tinggal di rumah besar ini. Dia teringat melihat semua hadiah yang Paman Jiang berikan ke istrinya, dengan sembrono meninggalkannya di atas meja atau sembarang rak yang muat dan tidak pernah disentuh lagi. Dia teringat meja makan yang tidak pernah mereka singgahi, tidak sebagai keluarga, tidak sebagai apa-apa. Dia teringat rumah yang telah dia tinggali selama bertahun-tahun ini, rumah yang tidak pernah dia anggap sebagai rumah sebelum semuanya terlambah.

Ini semua tidaklah sempurna, dan memang sejak dulu tidak pernah. Memang seharusnya tidak pernah sempurna. Wei Ying butuh tempat untuk kembali, dan baru saat itu—saat dia merindukan senyum Paman Jiang dan batang dupa lavender Bibi Yu yang dulu selalu dia nyalakan—Wei Ying pun sadar seharusnya dia menyebut ini rumah, jauh, jauh lebih awal.

Kondisinya pulih dengan cepat. Kata dokter, suatu keajaiban Wei Ying bisa bertahan hidup. Tubrukan antarmobil itu seharusnya ikut meremukkannya, tapi dia hanya mengalami cedera kepala dan kaki. Namun Wei Ying tidak bisa merasa bersyukur. Bagaimana dia bisa? Bagaimana bisa keselamatannya itu disyukuri di saat nyawa orang lain menjadi taruhannya? Bagaimana bisa dia hidup dengan itu?

Separuh diri Wei Ying berharap dirinyalah yang mati, bukan mereka. Jauh dalam lubuk hatinya, dia penasaran apakah Jiang Cheng juga berpikiran sama.

Upacara pemakaman terasa tidak benar. Wei Ying berdiri di sana, mendengarkan doa-doa, tapi dia tidak mendengar apa pun selain suara mobil yang mengelak dan benturan logam. Ada orang-orang yang menangis di sekitarnya, tapi pemandangan YanLi menangis di dada Jin ZiXuan mungkin adalah yang terburuk. Wei Ying menelan ludah dan membuang wajah, tidak bisa menitikkan air matanya sendiri. Jin Ling juga di sini, sedang ditimang ibu Jin ZiXuan. Rasanya tidak pantas bayi yang baru berusia setahun dikelilingi duka sebesar ini.

Jin ZiXuan dan Jiejie seharusnya menikah bulan depan. Apa itu masih akan terjadi? Apa Wei Ying sudah menghancurkan itu juga?

Suara ibu Wei Ying bergema di telinganya, Jangan pernah biarkan orang lain menghapus senyumanmu.

Mana mungkin dia bisa tersenyum di saat-saat seperti ini?

Jenazah Paman Jiang dan Bibi Yu dibaringkan dan dikubur bersebelahan. Begitu mereka menghilang ke dalam liang lahat, Wei Ying hanya bisa memikirkan hidup mereka yang setiap harinya dihabiskan dengan mempertanyakan pernikahan mereka. Wei Ying penasaran apabila mereka berdua akan berdamai, entah di mana pun mereka sekarang berada.

Wei Ying penasaran jika mereka bersedia dikubur bersama.

Wei Ying penasaran jika mereka membencinya.

Begitu upacara pemakaman usai, mereka kembali ke rumah kosong itu. Jiang Cheng tidak mengucapkan sepatah kata pun seharian ini—dia sudah menghilang di balik pintu kamar orangtuanya dan tidak keluar sepanjang sisa malam itu.

monotone (terjemahan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang