Rindu

173 27 11
                                    

Irsyad menatap mata coklat disampingnya itu, iya pria itu dengan gadis beku telah kembali duduk semeja. "Berhenti menatapku pria aneh," desis Arisa yang tak nyaman diperhatikan sejak tadi. Namun tetap saja pria itu tak menggubris perkataan gadis itu. 

"Jika kau tetap seperti itu, pindah tempat duduk dari sini!" Arisa menatapnya tajam. Irsyad yang tersadar pun terdiam, "maaf."

Arisa melanjutkan kegiatan menulisnya, semenjak kemarin ia mengizinkan pria itu duduk disebelahnya. Dia rasa bahwa pria ini berlebihan dan membuatnya risih untuk sekarang dan ntah sampai kapan jika pria itu tetap ada disampingnya.

"Aku tidak akan menatapmu seperti itu lagi, maaf ya aku tidak ada maksud buat mengganggu hanya saja aku suka melihat mata mu." Pria itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, rasa tidak enak itu sepertinya membuatnya salah tingkah seperti ini.

"Aku mau ke kantin." Arisa beranjak pergi lalu melangkah keluar kelas meninggalkan Irsyad dengan rasa bersalahnya. 

Mata Irsyad tak sengaja menemukan sebuah kertas terselip dibuku gadis itu, rasa ingin tahu nya tak bisa dibendung. Namun jika gadis itu tahu jika privasinya diketahui orang lain dia akan marah. Kata hatinya mengatakan berbeda, ia penasaran akan kertas itu. Setelah lama bertengkar dengan hati dan pikirannya akhirnya ia memilih untuk tidak mengambilnya.

Irsyad kembali melanjutkan mengerjakan tugas yang sempat tertunda, mengabaikan keingintahuannya yang membuat pria itu penasaran. irsyad melihat bayangan Arisa diluar kelas berjalan memasuki ruangan itu lalu duduk disebelahnya. "Ada apa?"

Arisa menangkap ada sesuatu yang tidak biasa, hatinya berdesir saat mata hitam pekat itu menatapnya. Ia menggelengkan kepalanya, "tidak ada."

Arisa meletakkan kepalanya diatas meja, matanya tertutup lalu kesadarannya menghilang. Gadis itu tertidur. Irsyad tahu bahwa tugas gadis itu pasti telah selesai, wajar saja gadis itu terlihat santai, tidak seperti tadi yang fokus menatap buku.

"Tugas udah selesai semua kan?" Ucap Riad didepan kelas dengan suara beratnya. "Tugas kumpulkan sekarang ya? Kasi ke aku sekarang dimeja Rian, kalau nggak aku tinggal."

Irsyad dengan sesegera mungkin menyelesaikan tugasnya, setelah selesai ia menatap gadis disebelahnya yang tengah tertidur dengan wajah tertutup kerudung. Ia menepuk pelan bahu gadis itu berniat membangunkan gadis itu untuk mengumpulkan tugasnya. "Ris buku kamu mana? Disuruh dikumpulin tugasnya."

Arisa menegakkan tubuhnya lalu menegak air minum yang ia bawa dari rumah didalam botol berwarna biru yang ia simpan didalam loker bawah meja. "Makasih."

Arisa menyeret buku yang bercorak batik itu dan membawanya ke meja depan. Sesuatu berwarna putih terjatuh diatas ubin, Irsyad mengambil kertas itu. Matanya menangkap sosok pria yang tengah memeluk seorang gadis kecil, ia tersenyum sendu menatap pria itu didalam foto yang Arisa simpan ia tebak bahwa itu adalah Afnan. Pria yang gadis itu rindukan terlalu lama.

Setelah cukup lama rasa penasarannya hilang, ternyata kertas yang tadi terselip di buku Arsa adalah foto kenangan gadis itu. Ia terkejut saat Arisa dengan kasar menarik foto itu dari tangan Irsyad. "Nggak usah kepo jadi orang."

"Itu tadi terjatuh Risa, ngga ada niatan buat ngambil," ucap Irsyad tegas namun pelan. Gadis itu tak memperdulikannya dan memilih beranjak dari duduknya dan melangkah keluar kelas.

-o0o-

Pria itu menatap kosong ke arah jalanan bukan gadis didepannya, dia bahkan tak berniat sama sekali pergi dengan gadis itu. Namun sahabatnya memaksa, dengan alasan kasihan jika seorang perempuan keluar sendiri.

"Afnan, kamu mau makan apa?" Iya dia Afnan, pria tampan yang banyak dikagumi para gadis di kampusnya. Bukan hanya wajah tampannya, otak jeniusnya dan akhlaknya yang lembut membuat banyak gadis meleleh karenanya.

Pria itu tak berbicara apapun, diam membisu seakan tak melihat apapun. Dihadapannya hanya ruang putih tak berisi apapun kecuali dirinya.

"Saya pamit dulu, kamu makan sendiri aja ya. Saya ada urusan." Afnan melangkah pergi dari restoran itu lalu menyalakan mobilnya dan berlalu dari tempat itu. Terlihat gadis gadis itu menggeram kesal lalu pergi menginggalkan restoran itu yang sebelumnya ia letakkan beberapa lembar uang diatas meja.

Afnan memasuki kamarnya, "Kamu sudah pulang?" Afnan menganggukkan kepalanya lalu tersenyum, meninggalkan ibu tirinya yang tengah makan salad buah di ruang tamu. Seakan tak ada semangat dalam dirinya, ia memilih mengambil earphone nya lalu memasangkan di kedua telinga. Menutup kedua matanya seiring surah yang didengar.

Pria paruh baya baru saja memasuki kamar anaknya duduk sambil memandang anak laki-lakinya itu, dalam hatinya memiliki rasa bersalah kepada laki-laki itu. Ia menyentuh puncak kepala Afnan pelan, "Afnan maafkan ayah, kalau kamu mau ayah mau ajak kamu ke Jawa. Apa kamu mau?"

Afnan membulatkan matanya, senyumnya lebar menatap kedua mata pria paruh baya itu, "Benarkah ayah? Mau ayah mau, kapan kita kesana?"

Pria paruh baya itu heran, mengapa anaknya ini mau pergi kesana? Dugaannya salah, ia kira anaknya itu akan menolaknya mentah sebab disana ibunya mengalami kecelakaan dan akhirnya kembali kepelukan sang pencipta. "Apa kau yakin?"

"Kok ayah gitu si, yakin lah ayah. Aku mau ketemu Sin. Aku merindukannya ayah, kira-kira seperti apa dia? Apa dia masih manja seperti dulu?" Afnan terkekeh membayangkan gadis itu, tanpa Afnan sadari, ayahnya kini tengah tersenyum menatap anak laki-laki itu.

"Benarkah? Kita tunggu kamu wisuda minggu depan, kita langsung kesana. Dengan tujuan melamar Afsin, apa kamu bersedia?" Afnan diam membisu, sepertinya pasokan oksigen disekitarnya telah habis. Melamar? Apakah dia siap? Begitu pula dengan gadis itu, bukankah gadis itu juga tengah sekolah?

"Melamar Afsin?" Rudi menganggukkan kepala membenarkan.

"Apa ayah bercanda? Aku belum mapan ayah, nanti saja jika aku sudah mampu menafkahi dia dan lagi pula aku masih ingin memperbaiki diriku yah. Ini terlalu cepat jika aku melamar dia, dan juga apa dia masih mengingatku?" Runi menepuk bahu anaknya pelan.

"Apa kamu lihat ayah tengah bercanda?" Pria itu terdiam. "Kalau kamu mau menunggu diri kamu sukses atau menunggu Afsin lulus itu terserah kamu, ayah hanya mengutarakan apa yang ayah ingin katakan. Jika kamu belum siap, tidak ada masalah. Yang terpenting jangan terlalu lama, kau tahu wanita paling tidak suka menunggu."

Afnan mematung mendengar perkataan pria paruh baya itu, memang benar ia sangat merindukan gadis itu bahkan menginginkan jika wanita itu akan menjadi bagian dari hidupnya. Jika saja memang Allah metakdirkan jika gadis itu untuknya, sejauh apapun jarak pasti akan dipertemukan.

Setelah Rudi keluar dari kamarnya, Afnan mengambil sebuah kertas foto yang ia simpan didalam laci meja belajarnya. Afnan menarik nafasnya saat kembali merasakan sesuatu yang membuat dadanya sesak, ia mengusap pelan wajah gadis itu. "Aku harap kamu masih mengingatku Sin."

-o0o-

Sejauh apapun jarak memisahkan, sekeras apapun kamu mencoba melupakan. Jika jodoh tidak akan salah apalagi ditukar.

-muttaqinnaim

Alhamdulillah akhirnya bisa update lagi, jangan lupa vote dan commentnya. Tinggalkan jejak kalian ^_^

Itsnani A [TAHAP REVISI]Where stories live. Discover now