Hari yang dinanti [END]

136 10 7
                                    

Setelah selesai membacakan surah Ar-Rahman, Afnan meraih tangan pria paruh baya yang sebentar lagi akan menjadi ayah mertuanya.

"Saudara Afnan Danis, Saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan putri saya yang bernama Afsin Arisa dengan maskawin nya 50 gram emas dan uang tunai senilai 10 juta beserta seperangkat alat sholat, tunai!"

Afnan menarik napas panjang, "saya terima nikah dan kawinnya, Afsin Arisa binti Ahmad Natsir dengan mas kawin tersebut, tunai!" Pria itu menghembuskan napasnya lega, kalimat itu dengan begitu lancar dia ucapkan. Afnan merasa jika semalam ini ia menghapalkannya tidak sia-sia, meskipun saat latihan dapat ia ucapkan diluar kepala tapi saat mengucapkan secara langsung seperti ini membuatnya grogi setengah mati.

"Bagaimana para saksi? Sah!?"

"Sah," jawab sanksi lantang.

"Alhamdulillah,"

Setelah akad selesai, Afsin tak langsung menyambut tangan Afnan yang mengulurkan kearah Afsin. Gadis itu malu dengan situasi seperti ini, terutama ia tak pernah menyentuh seorang laki-laki dengan sengaja. Paling beberapa kali ia menghajar mereka dengan tangannya, tapi kali ini berbeda. Ia malu, sangat malu.

Afsin menundukkan kepalanya saat mata hitam pekat milik Afnan itu menerobos masuk kedalam retina matanya, para tamu undangan tertawa saat beberapa kali ia menarik tangannya tepat Afnan akan memakaikan cincin kawin.

Pria itu tetap sabar dengan itu, ia tahu bahwa Afsin tengah berusaha memberanikan diri. Padahal tak jarang gadis itu menatapnya saat di sekolah, namun sekarang gadis itu berubah menjadi sosok pemalu. Afnan beberapa kali terkekeh melihat pipi istrinya yang memerah, lebih merah dari make-up yang ia pakai.

Afsin mengulurkan tangannya lagi, Afnan yang gregetan sendiri melihat tangan istrinya yang gemetar langsung memegangnya erat lalu memasukkan cincin di jari manis gadis itu.

Sesuatu di dalam sana berdetak kencang, ia menghirup udara panjang lalu mengambil cincin. Getaran tangannya semakin menjadi, cincin itu terjatuh ke lantai. Afsin mengambilnya dengan hati-hati lalu menarik tangan Afnan cepat dan memasukkan cincin itu di jarinya.

Gadis itu tersenyum setelah berhasil melewati itu semua, para tamu disana hanya tertawa. Mereka tidak tahu bagaimana susahnya ia menahan malu, namun sekarang ia sudah lega.

Pria berpakaian pengantin itu menatap gadis disebelahnya, "apa kamu lelah?"

Afsin menoleh kearah Afnan, namun ia kembali menundukkan kepalanya karena malu. "Iya kak, apa masih lama acaranya? Kenapa tamu yang datang seperti tidak ada habisnya. Padahal temanku ngga diundang sama sekali." Panggilan untuk suaminya kini berbeda, bukan lagi Irsyad atau hanya nama Afnan, tapi perlu sebutan 'kakak' sebagai tanda bahwa ia menghormati suaminya itu.

"Sabar dulu ya, mungkin mama sama bunda yang menambah jumlah undangannya." Afnan mengelus puncak kepala Afsin yang memakai jilbab, Afsin yang merasakan kepalanya disentuh kembali menunduk.

"Kak jangan buat aku lebih malu," ucap Afsin memohon tapi Afnan malah menyentuh kepalanya lagi. Baginya melihat istrinya malu seperti itu sangat lucu.

"Sabarkan hamba yang jomblo ini Ya Allah," ucap seseorang yang menghentikan aksi Afnan. Pria itu terkekeh, "maaf bro. Tapi tolong dong kalau mau mesra-mesraan jangan disini," ucapan Wafi membuat Afnan tertawa.

"Makanya nikah Fi," Afsin yang mendengar itu hanya tersenyum kecil.

"Belum nemu jodoh, bro" Wafi hanya tersenyum datar menatap sepasang pengantin baru itu.

Setelah beberapa tamu pulang, dua orang yang mereka kenal datang. "Selamat ya atas pernikahan kalian, semoga sakinah mawadah warahmah," gadis itu memeluk Afsin erat.

"Aamiin Ya Rabb, terima kasih ya Clar, Ara. Kalian udah nyempetin datang kemari." Ucap Afsin melepaskan pelukannya lalu menatap kedua sahabatnya itu.

"Kita pasti sempetin waktu buat kamu, aku ngga nyangka kalau si Irsyad ini masa lalu kamu. Kenapa ngga cerita ke aku si," Ara memanyunkan bibirnya menatap sebal kearah Afsin dan Afnan.

"Maaf," ucap keduanya.

"Yaudah gapapa yang penting sekarang aku udah tahu, aku do'a in yang terbaik buat kalian. Selamat ya," Afsin menganggukkan kepalanya lalu kembali memeluk kedua sahabatnya.

Clarissa yang disebelah Ara hanya mengikuti langkah gadis itu, ia merasa tidak enak hati pada Afsin sebab tak memberitahu siapa sebenarnya Irsyad. Ia membiarkan agar lelaki itu menceritakannya sendiri.

"Selamat ya sayang, semoga kalian menjadi pasangan yang sakinah mawadah warahmah, Aamiin Ya Robal'alamin." ucap Clarissa memeluk Afsin dan di Aamiin kan oleh mereka.

-o0o-

"Terima kasih karena kamu mau menunggu ku selama ini," ucap Afnan pada gadis yang sudah menjadi istrinya itu.

Lelaki itu menatap Afsin yang tengah menundukkan kepalanya, "maaf karena sudah membuatmu menunggu dan maaf karena aku telah berbohong menyamar sebagai Irsyad."

Afsin memberanikan diri untuk menggenggam tangan Afnan, "yang sudah biarlah berlalu. Gak usah diungkit lagi ya kak, kita jalanin aja setelah ini."

Lelaki itu tersenyum lalu mencium puncak kepala Afsin, "sungguh aku merasa beruntung dapat memiliki mu."

Pada kenyataannya menunggu tak semenyedihkan yang orang lain katakan, memang awalnya sakit tapi rasa sakit itu akan berubah menjadi kebahagiaan yang tak pernah dibayangkan.

Sungguh scenario Allah begitu indah, kita tak perlu memandang masa depan yang belum bisa kita tahu. Kita tak perlu menerka tentang sesuatu yang belum pada waktunya, Allah tahu apa yang terbaik untuk kita.

"Aku bahagia kak," ucap gadis itu memeluk Afnan yang sudah menjadi suaminya.

"Aku mencintaimu karena Allah."

-o0o-

Afnan melajukan mobilnya menuju sebuah kawasan perumahan di sebuah kota, setelah menikah ia memutuskan untuk membawa istrinya ke rumah yang sudah ia siapkan. Dengan berat hati Afsin meninggalkan kedua orangtuanya, rasa kehilangan selalu menghantuinya. Sekarang waktunya ia hidup sendiri dengan Afnan.

"Ini rumahnya kak?" Tanya Afsin setelah sampai di rumah yang akan ia tinggali bersama Afnan.

"Bukannya tadi kakak bilang rumahnya biasa aja ya? Kenapa rumah sebesar ini kakak bilang biasa saja?" Afsin tidak pernah menduga rumah Afnan sebesar ini.

"Kita cuma tinggal berdua kak, ga perlu rumah sebesar ini. Kita cari rumah yang biasa aja ya kak? Atau kita ngontrak dulu aja gapapa."

Afnan yang tengah mengangkat kopernya berhenti, lalu ditatapnya istrinya itu. "Apa kamu menolak?" Afsin dengan cepat menggelengkan kepala, Afnan tersenyum lalu mengelus puncak kepala Afsin.

"Tapi kak, ini terlalu besar." Sanggah Afsin lagi.

"Nanti kan ada asisten rumah tangga dek," jawab Afnan tak ingin mengalah.

"Nggak perlu asisten rumah tangga kak, aku bisa ngerjain urusan rumah sendiri." Afsin meletakkan kopernya disebelah koper milik Afnan.

"Aku nggak mau kamu kecapean dek," Afnan melipat kedua tangannya di depan dada menatap Afsin.

"Itu udah jadi tugas aku sebagai istri kak, udah ya nggak usah ada asisten rumah tangga dan ngga perlu rumah sebesar ini." Kukuh Afsin yang masih saja enggan untuk mengalah.

"Kamu bukan pembantu, aku menjadikan kamu istri yang hanya mengurus ku sebagai suami mu. Lagi pula dengan kita memperkerjakan mereka, kita juga bisa membantu meringankan beban ekonomi mereka dek."

Afsin menatap tajam suaminya itu tapi benar juga apa yang dikatakan Afnan, akhirnya untuk kali ini Afsin mengalah.

Bukan kekayaan yang membuat mu bahagia, tapi bagaimana caramu bersyukur dengan apa yang kamu terima.

TBC

Itsnani A [TAHAP REVISI]Where stories live. Discover now