Penentuan

82 11 3
                                    

Afsin membuka matanya saat sorot cahaya berusaha menerobos melalui cela matanya, ia melupakan sesuatu hal yang penting dan tidak seharusnya ia melupakannya. Ia segera bangkit dari tidurnya, ia mengingat bahwa kesadarannya hilang semalam. Tidak ada seorangpun yang tahu, sebab pintu kamar yang sengaja ia kunci.

Dengan cepat ia berdiri lalu bersiap untuk menunaikan ibadah, jam menunjukkan pukul lima pagi dengan sesegera mungkin ia mengambil air wudhu.

Setelah selesai dengan kegiatan membaca Al-Qur'an, Afsin kembali bersiap untuk berangkat ke sekolah. Beberapa minggu lagi ujian sekolah akan dilaksanakan, ia tidak ingin hal yang tidak penting menganggu pikirannya.

Jam enam ia telah siap dengan seragamnya. saat ia keluar dari kamar, ia menemukan adiknya yang sedang memakan beberapa lebar roti yang berisi selai. "Kak," pria itu bangkit dari duduknya lalu mengejar Afsin yang pergi begitu saja.

"Tunggu kak," Arya berhenti di depan motor Afsin yang telah menyala sebelum dirinya melajukan motor. "Minggir," Arya tak bergeming. Ia ingin menjelaskan bahwa semalam dirinyapun tidak tahu juga pria yang melamar Afsin adalah dua orang yang sama.

"Aku tahu kakak akan pergi pagi ini, tolong kak dengerin penjelasan aku bentar aja. Aku mohon," Afsin mematikan mesin motornya. Arya yang melihat hal itu langsung mendekati Afsin, "aku gak tahu kak kejadian semalam. Aku sama terkejutnya dengan kakak, ayah yang paham masalah ini. Nanti kalau kakak mau, sepulang sekolah kita ke rumah sakit ayah." Jelas Arya menatap Afsin penuh harap.

"Baiklah, minggir aku mau berangkat." Arya menepi, memberi akses jalan untuk Afsin yang akan melajukan motornya.

Setelah sampai di sekolah, Afsin tidak langsung masuk kedalam kelas. Ia memilih untuk menyendiri di taman belakang sekolah, membuka catatan pelajaran yang ia tulis dari jauh hari, berharap akan sedikit menghilangkan pikiran tentang pria yang melamarnya semalam.

Seorang pria mendekati Afsin yang tengah sibuk dengan buku tulisnya, duduk berjarak satu meter dari bangku yang Afsin duduki. Gadis itu sadar akan kehadiran Irsyad di sampingnya, "Afsin. Aku tahu aku salah, kamu tahu gak kenapa aku lakuin ini semua? Dulu aku pikir kamu akan menunggu ku, dan ternyata benar. Meskipun aku mengubah identitas ku, kamu menjaga perasaan mu," ucapan pria itu terjeda.

"Sebagai Irsyad, pertama kali yang terlintas di benakku adalah kamu perempuan yang menjaga kehormatan mu. Meskipun aku tahu perasaan kamu masih menyimpan nama Afnan, kamu menutup hatimu untuk Irsyad. Dan saat itu aku yakin, bahwa kamu akan menerima ku saat aku kembali. Begitupun dengan Arya, aku memintanya menjadi Afnan agar aku tahu bagaimana respon dia. Dan ternyata berbeda, dia membenciku. Dan untuk itu aku mohon, maafkan kesalahan ku. Aku tahu itu sulit tapi aku tidak tahu lagi bagaimana cara ku menebus kesalahanku ini," lanjut Irsyad menundukkan kepalanya.

Satu hal yang tidak dapat Afsin hilangkan dalam dirinya, mengingat bahwa ia sangat sulit untuk membenci seseorang. Ia memanfaatkan saat tersebut dan menjaga hatinya agar senantiasa merasa bahagia tanpa ada rasa benci.

"Aku memaafkan mu," Afsin bangkit dari duduknya disusul Irsyad yang tersenyum dengan bahagia, tak lain jika hatinya kini benar-benar lega.

"Terima kasih," ucap Irsyad berlari mendahului Afsin.

Pelajaran dimulai, jangan tanya dimana Irsyad. Kini pria itu tidak akan lagi muncul di sebelah nya, kembali seperti semula. Dalam kesendirian diujung kelas, tatapannya kini berubah. Bukan lagi sosok yang dingin, tapi lebih mengungkapkan seorang pemurung.

Setelah jam selesai, Afsin memilih untuk mampir ke kelas Clarissa. Sudah lama ia tak melihat sahabatnya itu di kelasnya. "Hai Clar," sapaan itu mengejutkan Clarissa yang saat itu tengah menulis.

"Hai, eh tumben kemari. Ada apa?" Clarissa meletakkan peralatan tulisnya diatas meja, lalu menyuruh sahabatnya itu untuk duduk di sebelahnya. "Gapapa pengen main aja, lama gak kesini."

Clarissa tersenyum melihat hal itu, tapi terbersit di dalam hatinya keraguan jika Afsin dalam keadaan baik-baik saja. "Eh iya Dika gimana? Udah sembuh?"

"Alhamdulillah udah kok, sekarang aja udah mulai berangkat sekolah. Ibu titipin Dika di KB deket rumah, Alhamdulillah sekarang aku gak kepikiran lagi kalau dia dititipin tetangga." Afsin menganggukkan kepalanya paham.

Afsin terdiam beberapa saat, memberanikan diri untuk memberitahu apa yang sebenarnya terjadi pada gadis di sebelahnya itu. Bibirnya terkunci, seakan tak ingin memberitahukannya.

Setelah bel berbunyi Afsin memilih untuk kembali ke kelasnya, tanpa Afsin ketahui sahabat nya itu sudah mengetahui sebelumnya tentang pria bernama Irsyad itu. Namun, ia tak sanggup jika melihat Afsin tahu informasi itu dari orang lain. Ia memilih agar Irsyad sendiri yang memberitahunya.

-o0o-

Sesuai dengan pesan Arya tadi pagi, mereka telah sampai di rumah sakit tempat ayahnya bekerja. Benar saja, tanpa mereka tahu orang tua Afnan ada di sana tengah berbincang dengan ayah Afsin. Pandangannya mengabur seperti ada yang janggal di matanya, beberapa kali Afsin mengedipkan matanya.

Arya yang sadar akan hal itu, langsung menarik lengan Afsin cepat dengan maksud agar lebih cepat kakaknya itu mendapat kejelasan dari kedua pria paruh baya itu.

"Assalamu'alaikum," dua orang di dalam ruangan itu terkejut akan kedatangan Afsin dan Arya yang tiba-tiba.

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh," ayah Afsin berdiri mendekati anaknya. "Apa yang membawa kalian datang kemari?"

"Ayah, kami butuh penjelasan tentang bang Irsyad dan bang Afnan secara detail." Terdengar hembusan nafas panjang dari salah satu pria paruh baya itu. "Baiklah, kalian duduk dulu ya."

Arya dan Afsin menurut, mereka duduk di sofa coklat lalu menatap ayah dan juga pria di sebelahnya. Tak lama kemudian tiba-tiba pintu terbuka, menampakkan pria jangkung dengan setelan kemeja navy. "Assalamu'alaikum. Ayah, om biar saya menjelaskan."

"Afsin, Arya dengarkan aku. Kalian mengenaliku sebagai Irsyad bukan? Untuk sekarang, panggil aku Afnan, aku telah kembali. Dan aku minta maaf kerena telah membohongi kalian, terima kasih Afsin karena kamu telah menjaga hati untuk pria seperti ku. Aku mohon, aku melakukan ini karena aku ingin mengetahui seberapa besar cinta mu. Itu caraku menjagamu dan melindungi mu, untuk itu aku ingin memperbaiki semuanya. Apakah kamu mau menjadi bagian dari tulang rusukku?" Afsin mendengar kalimat itu dengan jelas, satu alasan yang membuatnya bertahan. Berusaha berdamai dengan kenyataan.

Ingatlah, sejarah akan selalu terulang. Seperti sekarang, sosok Afnan kembali walaupun dalam kondisi yang berbeda. Ia bersyukur karena ia dapat bertemu lagi dengan Afnan, namun disisi lain sosok Irsyad sudah menyatu dalam tubuh pria itu.

Afsin tak menginginkan hal memilukan akan kembali ia rasakan, pasti ia akan terjerumus dalam tragedi yang sama yaitu kehilangan Afnan. Itu sungguh sulit, hatinya sudah terisi oleh nama pria itu.

"Bagaimana dengan sekolah ku?" Bibir itu mulai bersuara.

"Aku hanya melamar mu Afsin, untuk menikah insyaaAllah akan dilaksanakan saat kamu lulus." Kedua pria paruh baya itu tersenyum senang saat mendapat jawaban yang menurutnya positif.

Afsin menundukkan kepalanya, rona merah di pipi gadis itu dapat Irsyad lihat dengan jelas. Pria itu terkekeh, 'sungguh manis makhluk-Mu satu ini Ya Rabb.'

"Aku mau," sampai disitu, Afsin memilih untuk memaafkan segalanya dan memulai perjalanan hidup baru. Sama halnya dengan Arya, apa pun yang membuat kakaknya bahagia,ia pun bahagia.

Andai saja mereka bisa membeli ketentraman itu dengan ribuan dolar, mereka pasti berebut karenanya. Sebenarnya rasa benci bisa melunak seiiring bagaimana seseorang menjaga hatinya agar senantiasa menerima kekurangan seseorang.

TBC

Itsnani A [TAHAP REVISI]Where stories live. Discover now