27. Not My Fault

373 35 0
                                    

Ara berjalan melewati lorong, bersama dengan Arin dan Adnan yang siap sedia berada di samping Ara.

"Eh, katanya maling kas tuh."

"Gue kira dia udah baik loh, rupanya cuma topeng."

"Orang jahat emang bakal tetep jahat."

"Orang miskin apa ya?"

"Gak banget ih.."

"Untung ketahuan.."

Semua perkataan itu terdengar jelas di indra pendengarannya, menusuk tepat di hatinya.

Gadis itu mencoba untuk tak mendengar dan bersikap biasa. Lagipula bukan dia pelakunya.

"Dasar gak tau malu."

"Maling ew.."

"Mati aja lo sana, nyusahin orang lain aja."

Namun biarpun ia tak bersalah, orang - orang akan tetap mencibir sesuatu yang mereka tangkap tanpa tau kebenarannya.

Orang - orang hanya akan terus menghakimi tanpa berpikir.

Dasar manusia.

"Araa!" Panggil seseorang dari arah belakang.

Lantas ketiga orang itu menoleh. Mata mereka menangkap seorang gadis yang tengah berlari menghampiri mereka.

"Araa.." panggil Larin setelah berhenti berlari dengan nafas yang terengah. "Sorry."

Ara mengernyitkan dahi, "sorry kenapa?" Tanyanya bingung.

"Gue tadi gak bermaksud buat nuduh lo. Gue cuma mau cerita yang sejujurnya biar siapa tau dapet petunjuk gitu." Jelasnya membahas perihal dirinya yang menunjuk Ara tadi.

Ara tersenyum, "gak papa, lagian kan emang bener gue lagi di kelas sendirian waktu itu." Lalu menatap Arin dan menarik tangannya, "yaudah, gue pulang sama Arin dulu ya." Lalu berjalan mundur sebelum akhirnya berbalik.

Adnan yang tak diajak itu baru sadar, "gue?" Tanyanya.

"Anterin Larin." Jawab Ara tanpa menoleh sedikit pun.

Adnan menatap Larin dengan tatapan menginstrupsinya, "yaudah cepet."

.  .  .

Ara meraih helmnya yang berkaca transparan itu, lalu menatap helm Arin yang memiliki kaca gelap sehingga wajah orang yang memakainya tidak terlihat.

"Kenapa?" Tanya Arin yang sadar bahwa helmnya tengah diperhatikan.

Ara menoleh lalu tersenyum, "tukaran dongg.." pintanya sedikit memaksa.

Arin tanpa berpikir langsung saja menyodorkan helmnya, "nih." Ia segera menaiki motor maticnya sambil memakai helm, diikuti dengan Ara yang juga ikut naik.

.

Jalanan ramai tapi tak padat, tak ada suara klakson yang biasanya satir terdengar tiada henti, membuat telinga ingin pecah saja rasanya.

Suara motor - motor yang tenang dan angin yang mengelus wajahnya kasar itu, membuatnya hanyut dalam lamunan.

Pikirannya terbang kemana - mana, memikirkan roti yang tak sempat ia makan di kelas, makan siang apa yang mbo Sri masak, kabar selimutnya yang masih dijemur, dan yang terakhir adalah kejadian di sekolah tadi pagi. Kejadian itu tiba - tiba terlintas di pikirannya, dan melekat begitu saja.

StepbrotherWhere stories live. Discover now