29. The Truth Untold

486 31 0
                                    

"Kok kamu tadi tiba - tiba gak dateng sih?" Tanya Bunda yang baru saja pulang dan duduk di ruang tamu.

Adnan yang sedari tadi sudah menunggu kepulangan sang Bunda akhirnya bersuara, "Adnan mau ikut Ayah, Bun." Kalimat itu terlalu sarkas untuk seorang anak yang ingin meminta izin pada orang tuanya. Maksudnya, itu terlalu to the point, tak ada basa basi apapun.

"Loh kok tiba - tiba?" Tanya Bunda yang sedikit terkejut dengan pernyataan sang Anak.

"Adnan pengen sekolah di Bandung." Jawabnya dengan jelas lagi.

"Kapan?"

"Semester depan."

"Tapi, Nan. Sebenarnya Bunda--"

"Kalo Bunda mau nikah sama om Erza, silahkan." Pernyataan Adnan itu benar - benar membuat tante Farzah semakin terkejut, "dia orangnya baik kok."

"K-kamu tau darimana? Kamu tadikan gak dateng atuh, Nan."

Adnan hanya tersenyum sebagai jawaban dari pertanyaan Bundanya itu.

.
.
.

Adnan baru saja bertemu dengan Ayahnya dan sedang berkendara menuju alamat restoran yang Bundanya berikan.

"Kamu temenin Ayah di Bandung, ya."

Ah, kalimat itu seketika menghantui kepalanya.

"Gak dulu, Yah."

Itu adalah jawabannya. Dia masih belum bisa menerima keluarga baru sang Ayah yang jelas masih terasa sangat asing baginya.

Keluarga yang bahkan tak pernah terbayangkan di pikirannya, keluarga yang terlalu asing itu.

Sekarang ia baru saja memarkirkan motornya di parkiran dan segera masuk ke dalam restoran semi-formal itu.

Langkahnya terhenti ketika kedua maniknya mengenali seorang gadis yang duduk tepat di seberang sang bunda.

Ara.

Jangan bilang bahwa selama ini Bundanya itu menjalin hubungan dengan om Erza, ayah Ara.

Ia bahkan belum menyatakan perasaannya pada Ara, namun Bunda malah harus menikungnya lebih dulu.

Ini lebih sakit dibanding ditolak secara mentah - mentah. Bisa kalian bayangkan kalau orang yang kalian suka akan menjadi saudara kalian?

Adnan segera berbalik, meninggalkan restoran tersebut dengan berbagai macam perasaan. Iya, dia marah, sedih, bingung, dan segala perasaan yang tak bisa dijelaskan.

Adnan: Bun, Adnan gak sempat makan malam bareng.

Ia menarik nafas berat bersamaan dengan pedal gas yang ia tarik lebih dalam. Sekarang jarum ukur kecepatan motornya sudah mencapai angka 100.

Untuk sekarang sudah malam, dan Jakarta sedang sepi ditinggal tuan rumahnya berlibur.

Adnan benar - benar bingung sekarang. Tadi itu jelas - jelas Ara dan om Erza, bukan orang lain. Apa Ara tau siapa Bundanya? Apa dia tak tau bahwa Adnan adalah anaknya?

Ia harus marah pada siapa? Bunda? Om Erza? Ara? Atau bahkan Tuhan yang memberikan takdir seperti ini?

Jawabannya jelas tidak.

Ia tak bisa menyalahkan siapapun. Bunda tak salah, ia hanya butuh seseorang yang menjaganya, Ara butuh Bunda yang menyayanginya. Lantas dia butuh siapa sekarang?

StepbrotherWhere stories live. Discover now