|12

728 92 2
                                    

Siang itu sedikit kegaduhan terjadi di dalam ruang kelas Kanara yang kini tinggal beberapa bulan lagi menyelesaikan sekolah menengah atasnya. Para siswa yang mondar-mandir kesana kemari, berdiskusi dengan satu sama lain, membicarakan bagaimana masa depan yang akan mereka tempuh selanjutnya.

"Lo udah ngisi Ra?" Tanya Hilda menghampiri Kanara. "Belom di isi? Cepetan ih Ra, ditungguin pak Budi."

"Iyaa bentar dulu, tunggu. Lagi mikir nih."

"Pake mikir, kan lo udah yakin sama pilihan lo."

"Hah?"

"Hah! Kenapa? Gara-gara ada Saga?"

Tebak Hilda dengan menurunkan volume suaranya, Hilda mendudukkan dirinya disamping Kanara.

Tak ada jawaban. Kanara masih sibuk dengan pikirannya. Memandangi selembar kertas formulir daftar universitas yang ingin dituju setelah lulus nanti.

"Ra, itu kampus gak cuma sepetak kayak disini. Kemungkinan buat lo ketemu sama dia juga gak segede kemungkinannya lo ketemu sama dia kayak di sekolah Ra."

"Iyaaaa... tapi..."

"Yaudah cepetan isi! Lo mau kuliah bareng gue gak?"

"Mauuuu."

"Yaudah cepetan isi!"

"Emang udah pasti lolos?"

"Y—yaa... lo berdoa aja biar lolos, biar bisa ngeliat dia lagi."

"YEEEEEE!!!!!"

"HAHHAAHAHA."


Ketika sebuah rasa bertepuk sebelah tangan terjadi, entah mengapa kali ini begitu terasa menyesakkan. Tidak hanya sekali saat rasaku tak berbalas. Namun, kali ini benar-benar berbeda. Rasa bahagia yang kurasa, tak berbalas menjadikannya rasa sakit yang mengapa terasa begitu teramat.
Belum sempat juga ku nyatakan perasaanku padanya, dirinya telah mendorongku untuk pergi.

Bayang-bayang dirinya bersama seorang perempuan kala hujan turun deras hari itu masih teringat jelas. Meski tak lagi terasa perih, namun mengapa membuatku begitu sulit menghirup setarik nafas. Dengan helaan nafas kosong yang kuhembuskan, tak ada lagi yang terasa, hampa.

Kurasakan, diriku perlahan mulai mati rasa.
Mampukah lagi diriku untuk mencinta?

Sore ini, di balkon ruang kamarku, ku temui diriku termenung lagi dengan alunan lagu mengalir ke dalam runguku, melalui sebuah earphone tersumpal menutupi lubang telingaku.

"Kakak?"

Masih dapat terdengar suara lembut bunda dari arah pintu kamarku. Memanggil dengan penuh nada sayang. Ku yakini bunda tahu apa yang sedang terjadi, meski enggan untuk mengusik. Membiarkanku menenangkan diri dengan caraku. Bunda selalu seperti itu. Setelahnya aku yang akan bercerita semuanya, kala tak lagi dapat kutahan semua sesak dalam dada. Namun, kali ini menjadi waktu terlama diriku mampu menahan.

"Iya, bunda?"

"Bunda mau ke supermarket, kakak mau ikut?"

"Engga deh bunda, Nara di rumah aja. Gak apa-apa kan bunda?"

"Yaudah, gak apa-apa. Bunda pergi dulu yaa."

"Iya, bunda."


"Ciiieeee yang mau UN."

"Mau UN di 'cie'-in ngaco!!!"

"Hahhahah. Semangat dong, katanya pinter. UN doang mah gampil."

"Cobain entar tahun depan kamu Mas. Ngeledekin aku lagi. Gak tau apa orang lagi stress."

Malam itu seperti biasa Dimas sedang berkunjung ke rumah Kanara, berniat untuk bermain games dengan Tara. Namun, rencananya digagalkan oleh Kanara yang sedang sibuk berkutat dengan contoh-contoh soal latihan. Dengan satu ancaman, Dimas dan Tara menghentikan permainan games mereka.

"Kamu, berdua kalo masih mau disini matiin gamesnya! Kalo enggak, pergi sana!"

"Kan volume-nya udah dikecilin..."

"ENGGAK!!! Bundaaaaa."

"Iyaaa iyaaaa dimatiin."

Dimas yang kini sedang mendapat jatah libur karena kakak kelas-nya sedang menjalani ujian nasional sudah menemui tahap bosan. Band-nya yang sedang vakum karena Saga dan Bara yang kini menjadi mahasiswa perantau, begitu pula dengan Juno yang sibuk dengan kuliahnya dan Wira yang kini juga sedang menjalani UN bersamaan dengan Kanara. Membuat Dimas tidak mempunyai banyak aktifitas selain hanya makan dan rebahan, bermalas-malasan di rumah.
Saat memutuskan untuk pergi ke rumah Tara dengan rencana untuk bermain games bersama, sebetulnya ada keperluan lain Dimas mengunjungi rumah Tara. Kanara, melihat perempuan yang disukainya menjadi alasan lain Dimas berada disini, dirumah sahabatnya saat ini.

"UN apa besok kak?"

"Fisika."

"Waahhh, susah dong."

"Yaa makanya udah tau susah, kamu malah berisik."

"Heheh yaa maap." Dengan menaik-turunkan alisnya, Dimas mencoba menghibur Kanara.

"Si Tara tadi kemana?"

"Nganterin bunda kan."

"Oiyaa. Terus kamu ngapain disini? Gak pulang?"

"Idih ngusir."

"Idih kan aku nanya doang."

"Orang aku mau nginep."

"Hahha gak punya temen yaa. Bosen yaa dirumah terus." ledek Kanara.

"Iyaa. Mana aku kangen latihan lagi."

"Latihan? Latihan apa?"

"Latihan band."

"Oohh..."

"Kak?"

"Hhmm?"

"Gak jadi deh..."

"Dih? Kenapa? Ngomong aja. Kenapa?"

"Kakak jadi pilih universitas 'X'?"

"Hhhmm." Dengan anggukan Kanara menjawab pertanyaan Dimas.

"Bareng sama bang Saga sama bang Bara dong."

"Kan kita beda fakultas."

"Oooohhh..."

"Kenapa? Mau titip salam ke mereka?"

Dimas terdiam sejenak...

"Kalo ada apa-apa cerita ke aku yaa kak."

"Hah?" Dengan raut wajah tanya Kanara sejenak memandang wajah Dimas bingung. Namun, ia tahu Dimas hanya khawatir akan dirinya seperti Tara yang sebelumnya juga mengatakan hal yang hampir serupa. "Iyaa." Dengan satu kata itu dan senyuman, Kanara mencoba untuk meyakinkan kalau dirinya akan baik-baik saja nanti disana.

S A G AWhere stories live. Discover now