|19

552 78 2
                                    

"Aku... suka sama kamu, Ga."

Kalimat itu akhirnya terucap. Setelah sekian lama kupendam, rasa yang telah lama ada akhirnya terungkapkan. Tak berpikir bagaimana jawaban yang akan aku dapatkan. Setidaknya sesak dalam dadaku terasa sedikit lega.

"Maaf, Ra... aku..."

Ya, hanya sedikit dan sementara.

"Aku cuma mau bilang doang kok, Ga... biar lega aja. Udah dari lama aku suka sama kam—"

"Ra, aku tahu..."

"Biar gak sesak aja, Ga. Makanya aku bilang, aku mau kamu tahu..."

"Aku tahu... tapi maaf, Ra..."

"Gak apa-apa, Ga. Kamu gak perlu minta maaf."

Kenapa begitu sulit untuk berpura-pura 'tidak apa-apa'. Kupaksakan diriku untuk tersenyum, tertawa. Ku atur otakku untuk menertawai diriku yang menyedihkan.

"Seenggaknya sekarang, aku udah lega. Anggep aja aku gak pernah bilang apa-apa yaa, Ga. Gak usah kamu pikirin. Aku harap, abis ini kita masih bisa tetep temenan... hehhehe. Boleh kan, Ga?"

"Iyaa..."

Saga tersenyum hangat...
'Teman', nyatanya hatiku terasa sakit menanggapi kata-kataku sendiri. Mataku mulai terasa perih, menahan air mata yang mungkin jika semakin lama aku disini, aku akan menangis di depannya.
Aku, tak ingin Saga melihatku menangis. Aku, tak ingin ia melihatku begitu rapuh.

Aku... tak ingin ia tahu, bahwa saat ini aku sangat ingin membencinya.

Dan membenci diriku, yang begitu sangat mencintainya.

"Aku, duluan yaa Ga."


Aku tahu, saat ia memperhatikanku. Sesekali ia melihat ke arahku. Seperti sedang gelisah, Kanara terus saja menyibukkan diri dengan memainkan ponselnya.
Entah mengapa, perasaanku pun terasa tak nyaman.

Tak kusangka, ia mengatakannya. Disaat aku tahu rasaku juga teramat ingin mengungkapkan. Namun, lagi-lagi aku memilih untuk menjadi pecundang. Menutup kembali rapat-rapat apa yang kurasa. Membiarkannya membusuk dan mati. Meski aku tak pernah tahu, apakah memang akan mati, atau tetap menetap dan berkembang.

Kata 'maaf' meluncur begitu saja dibibirku. Untuk kali pertama, kata 'maaf' kurasakan begitu perih untuk diucapkan. Bagaimana bisa aku menyakitinya, disaat aku tahu secara bersamaan aku menyakiti diriku sendiri.

"Aku, duluan yaa Ga."

Hanya kubiarkan dirinya pergi begitu saja, berjalan melewatiku. Saat ku tahu, hanya dengan satu kedipan, air matanya akan jatuh membasahi wajahnya.

Untuk saat ini, aku sangat ingin ia membenci diriku.

Untuk saat ini, aku sangat ingin ia membenci diriku

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.



Sudah lebih dari satu minggu aku berada dirumah. Libur semester kali ini ku sempatkan untuk pulang ke rumah. Selain rindu dengan masakan bunda, aku rindu dengan kamarku. Yang tak sedikitpun berubah sejak aku tinggalkan. Meski tak ada yang mengisi, aku yakin bunda terus membersihkannya. Tak terlihat debu sedikitpun.

"Kak, pacarnya tuh."

"Apaan sik!"

"Aku tau, itu pasti pacar kakak. Yakaann."

"Sok tau!"

"Gak ganteng. Gantengan aku."

"Iler tuh, bersihin dulu."

"Ih!!! Rese!"

Saat ku turuni anak tangga, aku melihat Seno yang sedang asik mengobrol dengan ayah.
Dengan dua cangkir teh hangat di atas meja, ayah sangat bersemangat bercerita dan Seno dengan seksama mendengarkan.

"Kapan ayah naik gunungnya?"

"Ayah dulu kayak Seno kak, suka naik gunung."

Dengan memasang muka tak percaya, aku meledek ayah.

"Yah, kakak dibilangin gak percaya."

"Biasanya anak gunung minumnya kopi Yah, bukan teh."

"Kopinya abis Ra, tadi kata bunda kamu."

"Tuh, denger apa kata Seno."

"Ooohh, sekarang kamu sekongkolan sama Ayah? Oke, No. Oke."

Ayah dan Seno hanya tertawa melihatku yang terlihat kesal.

Ya, aku mengizinkan Seno menjaga dan melindungiku. Memberikannya kesempatan untuk membuatku bahagia.

Seperti memanfaatkan. Aku tahu. Hanya saja, aku juga ingin menemukan kebahagiaan melalui cara yang lain. Kucoba salah satu cara dengan menerima perasaan Seno.

"Mana yang katanya pulang?!!"

"Salam dulu kek!"

Suara Dimas saat memasuki rumah terdengar begitu lantang. Kutepuk punggungnya yang tak ucapkan salam saat memasuki rumah. Dimas hanya mengaduh kesakitan.

"Siapa kak?" Dimas berbisik, menanyakan keberadaan Seno.

"No, kenalin ini Dimas. Adek aku yang sebenernya bukan adek aku."

"Apaan sik, gak jelas lu kak."

Seno hanya tertawa melihatku dengan Dimas yang terlihat tidak akur.

"Kok mau sih pacaran sama kak Nara, bang?"

"HEH!!!"

"Aduh! HAHHAHAH."

•

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
S A G AWhere stories live. Discover now