2. Baby Blues (Part 2)

334 5 0
                                    

Sheira berbalik dan melihat seorang perempuan memakai kaos merah dengan tulisan 'Toko Serba Ada Nyi CItraloka' warna kuning neon di dadanya. Dia mengenakan celana pinsil jins hitam dan tanpa alas kaki. Tubuhnya tinggi langsing dengan mata yang tajam dan tangan yang kokoh.

Ibunya memiliki tangan seperti itu, bahkan dia merasa memang ibunyalah yang berdiri di depannya. Tangan kokoh yang disebabkan matangnya usia. Tapi dari wajahnya tampak usianya sekitar dua puluh tujuh tahun.

Dia membawa kendi di tangan yang diikat dengan pita merah ke pinggangnya.

"Anda seharusnya tidak berada di sini," kata Sheira sambil mengerutkan kening.

Oh, hai," kata perempuan itu seakan kehadirannya adalah hal paling normal di dunia.

Sheira memiringkan kepalanya dan melepaskan satu tangan dari pagar dan balas melambai. "Hai," katanya.

"Kamu bisa jatuh," kata wanita itu, melangkah lebih dekat.

Sheira melihat ke depan lagi dan kemudian ke tanah di bawahnya. Satu-satunya mobil di tempat parkir adalah Honda Jazz miliknya, kado ulang tahun dari Daniel sekaligus hadiah karena melahirkan Dixie. Ada sesuatu yang ganjil, tapi dia tak ingat apa yang aneh.

"Saya tahu," Sheira mendengus, air mata masih mengalir membasahi wajahnya.

Perempuan itu sekarang berada di samping Sheira. "Kamu boleh memanggilku Citraloka," katanya. "Aku baru pindah ke Bandung bersama keluarga." Dia mengucapkan kata keluarga dengan cara yang aneh, seperti mempunyai makna ganda.

"Saya Sheira," jawab Sheira.

Citraloka bersandar di pagar dengan kedua tangan. Sheira berkedip. Bukankah tadi tangannya memegang kendi? Mungkin aku berhalusinasi.

"Bagaimana Anda bisa sampai di sini?" Sheira bertanya. "Anda jelas bukan karyawan atau nasabah Bank Berlian, saya tahu siapa saja yang punya akses masuk ke sini dan saya belum pernah melihat Anda."

Citraloka tersenyum. "Aku terbang," katanya.

"Terbang?" tanya Sheira.

"Aku ingin melihat Bandung di waktu malam," kata Citraloka. "Waktu pertama kali aku pindah ke sini, seluruh tempat ini masih hutan lebat."

Aksennya aneh. Sheira biasanya bisa menebak asal seseorang dari cara bicaranya, tapi tidak dengan Citraloka. Seakan-akan perempuan itu berasal dari seluruh penjuru dunia sekaligus. Atau tidak dari mana pun.

Sheira mengangguk. Dia tidak terlalu peduli, terus mengayunkan kakinya dan menatap ke tanah. Mobilnya kelihatan seperti mobil mainan koleksi Adamas.

"Kamu mau berbicara mengapa kamu ingin melakukan ini?" Citraloka tiba-tiba bertanya. Sesuatu dalam suaranya telah berubah, Sheira tidak tahu apa.

"Tidak," Sheira menggelengkan kepalanya, menyeka air matanya, "Saya tidak ingin membicarakannya."

Citraloka menatapnya lama sekali sebelum mengangguk. Kemudian, "Kamu punya anak," katanya.

Sheira menatapnya. "Bagaimana Anda tahu?" dia bertanya.

"Kita selalu bisa melihat apa yang dilihat seorang ibu," jawab Citraloka, mencengkeram pagar dan duduk di atasnya.

"Apa yang sedang Anda lakukan?" tanya Sheira. Suaranya hampa.

Citraloka duduk di pagar dan ikut mengayunkan kakinya, menatap kota di bawah yang berkelap-kelip kuning, hijau, jingga, merah dan biru.

"Dulu lebih damai, kurasa," katanya. "Tidak banyak orang. Tapi sekali lagi, tidak pernah semewah ini. Kalau kamu memejamkan mata dan menahan nafas," dia menutup matanya dan menarik napas dalam-dalam," kamu bisa merasakannya di pembuluh nadi, rasa yang mengalir melalui jantungmu. Kota ini hidup." Dia memandang Sheira dan mengulurkan tangannya. "Tidak baik jatuh sendirian."

Sheira memandangi tangan itu, dan memandang wanita itu. Ada yang aneh dengan wajahnya, matanya. Dia tampak seperti arca era dahulu kala,tua dan abadi. Tapi ada kelembutan di sana.

Sheira menyeka air matanya, mengangguk, menarik napas dalam-dalam, dan memegang tangan Citraloka.

Dia meringis. Tangan itu sedingin es.

"Anda punya anak," kata Sheira sambil memandang Citraloka.

Citraloka tampak sangat terkejut. "Bagaimana kamu tahu?" tanyanya.

Sheira menatapnya dan tersenyum. Itu adalah senyum jujur ​​pertama yang dia untai selama bertahun-tahun. "Anda selalu bisa membedakan mata seorang ibu," katanya. Dan tanpa berkata-kata lagi, dia melompat dari pagar ke udara sambil memegang tangan Citraloka.

"Aku punya anak," kata Citraloka saat mereka jatuh di udara, "tapi aku hidup lebih lama dari mereka. Selalu begitu."

Mulut Sheira menganga. Dia merasa tubuhnya tanpa bobot. Sambil memegang tangan Citraloka, mereka jatuh seolah-olah gelembung sabun yang menyatu dengan partikel udara, menggelembung perlahan melalui nafasnya.

"Kupikir kamu menginginkan lebih banyak waktu," kata Citraloka sambil tersenyum sedih padanya. Percikan cahaya biru bergerak dan melesat di sekitar mereka.

"Seandainya saya mencium Dixie," kata Sheira, mulai menangis lagi. "Tapi saya tidak bisa ... saya tidak bisa melihatnya, setelah apa yang telah saya lakukan."

Citraloka memandang Sheira dengan mata yang telah melihat api dan kehancuran, kematian dan pembantaian, darah dan baja dingin tajam, dan hanya mengangguk.

Mereka berdua berbicara lebih banyak saat mereka berbagi cerita, karena pada akhirnya, hanya itu yang kita miliki, pada akhirnya.

Cerita.

Cerita hidup lebih lama dari segalanya, bahkan kita, dan ketika kita gagal, ketika kita jatuh, cerita terus saja mendahului kita. Kisah tentang suara dan kemarahan bergema di kegelapan yang kelam, menandakan kehidupan berjalan dengan baik.

Keesokan paginya, saat terbangun dari tidurnya, petugas keamanan menemukan sosok mayat yang tersenyum di atas kap mobil Honda Jazz yang menurutnya sebelumnya terparkir di lantai dasar. Tidak ada rekaman CCTV tentang hal itu.

Korban tidak membawa tas, tidak juga ponsel, hanya segenggam mawar merah dan kendi dari tanah liat tergeletak sampingnya.

Mereka akan bercerita kepada orang-orang tentang malam itu saat mereka dewasa.

Tiga dari mereka, semua sedang di kamar, telah dibangunkan oleh ciuman dingin di dahi mereka dan perempuan itu—mereka yakin bahwa itu seorang perempuan—membisikkan kata-kata penuh harapan kepada mereka.

Namun bahkan kenangan tentang itu akan pupus juga. Dan saat sebuah kenangan mati dan memudar, ia akan pergi ke kuburan kenangan.


BERSAMBUNG

Penyihir Kota KembangWhere stories live. Discover now