5. Pengangkatan (Part 2)

202 5 0
                                    

Dingin.

Ya Tuhan ... dingiiin.

Ataya menggigil dan meronta-ronta saat dia masuk lebih dalam dan semakin dalam, kegelapan mencengkeramnya, membawanya, menyeretnya masuk dan—

Dia berada di pinggiran desanya dulu, di kaki Gunung Sindoro. Di sanalah dia, bayi kecil berumur sehari terbungkus tas plastik, menangis dan menangis. Mengharapkan makanan dan kasih sayang.

Kemudian ada Citraloka, berpakaian biru tua pudar, tas di tangannya, menatap anak itu, dengan hati-hati, dengan belas kasihan.

Citraloka menggumamkan kata-kata dan menggerakkan tangannya, percikan api biru mengalir di sekujur tubuhnya. Akhirnya, dia mengatakan sesuatu dalam bahasa yang tidak pernah didengar dunia selama berabad-abad, dan semua orang di desa berubah menjadi katak. Citraloka menggendong anak itu dan melanjutkan perjalanannya.

"Kamu harus menghadapi masa lalumu," sebuah suara berkata di belakang Ataya. Dia berputar, tinjunya melayang, tapi tidak ada orang lain di sana.

"Kamu harus menghadapi ketakutanmu," kata suara itu lagi dari belakangnya. Ataya berputar lagi untuk melihat seorang perempuan berbaju biru, dengan kerudung menutupi wajahnya.

"Aku tidak takut," kata Ataya, dagunya terangkat. Tapi suaranya bergetar, tangannya gemetar.

"Kamu ditinggalkan oleh orang tuamu," kata perempuan itu, "oleh desamu, kaummu. Dan ketakutan itu mengikutimu, melewati setiap pintu, setiap pertemuan. Kamu takut ditinggalkan, dibuang seperti sewaktu kecil."

Ataya tidak mengatakan apa-apa. Air mata membanjiri matanya, tapi dia bergeming.

Suara wanita itu tidak bisa dikenali, meskipun terdengar familiar di telinga Ataya. "Untuk menjadi penyihir," katanya, "kamu harus menghadapi ketakutanmu. Maka, hadapilah. Mungkin kamu akan kalah, atau kamu mungkin menaklukkannya, tetapi kamu harus menghadapinya."

Ataya mengepalkan tinjunya. Air mata mengalir deras di matanya. Dia tersentak dan terisak. "Maaf," kata Ataya, "Maaf, aku hanya ...." Dia menghela napas panjang. "Aku takut," katanya sambil menatap perempuan itu. "Aku takut sendirian. Aku takut semua orang akan meninggalkanku suatu saat nanti. Aku takut Citraloka akan membenciku."

Perempuan itu mengangguk. "Bijaksana," hanya itu yang dia katakan. Lalu—

Mereka sekarang berada di sebuah rumah besar dan indah. Dua anak berlarian. Kembar. Mereka saling berkejaran di ruang tamu. Seorang lelaki dan perempuan dewasa duduk di kursi, mengamati kedua bocah sambil tersenyum.

Ataya memandang orang-orang itu sambil berjalan mendekat. Mereka tidak bisa melihatnya, dia tahu. Tapi sesuatu tentang mereka menariknya bagai magnet. Bagaimana mata perempuan itu berbinar, lengkung bibir lelaki itu saat tersenyum.

"Kamu harus menghadapi amarahmu," kata perempuan yang mengiringinya dari belakang.

"Aku tidak..." Ataya tergagap, "aku tidak mengerti."

"Kamu harus menghadapi amarahmu," ulang perempuan berbaju biru itu.

Ataya melihat orang-orang itu lagi dan kemudian anak-anak berlarian. Mereka sangat mirip ....

"Mereka membuangnya?" tanya Ataya. Suaranya meninggi satu oktaf saat dia berbalik dan berhadapan dengan pengiringnya. "Mereka membuangnya?"

"Kamu harus—"

"Hadapi amarahmu," Ataya menyelesaikan, tinjunya mengepal. "Mereka bajingan, keduanya!" Dia menjerit marah dan duduk berjongkok. "Mereka membuangku dan meninggalkanku... membiarkanku mati!"


BERSAMBUNG

Penyihir Kota KembangWhere stories live. Discover now