4. Lajnah Lima (Part 3)

214 5 0
                                    

Ataya bangkit dari kursinya. "Minggu lalu, kami membantu panti asuhan yang kehabisan makanan. Kami membuat makanan dengan sihir kami. Aku sendiri yang menanam tomatnya!" dia bercerita dengan wajah berseri-seri. "Lalu, kami menyihir gubernur untuk menyediakan sanitasi—"

"Apa katamu?" Saras bertanya. Alisnya berkerut. "Perkumpulan kalian ... membantu orang-orang?"

Nira memutar matanya dan menggelengkan kepalanya. "Kalian para Penyihir Kota Kembang selalu bikin masalah selama berabad-abad, kamu tahu itu, kan? Apakah kamu sudah diinisiasi?"

Dia menunjuk Ataya. "Ibuku menulis tentang ketuamu dalam buku hariannya. Tentang Citraloka itu. "

Saras tersenyum lagi. "Sebenarnya aku suka dia. Dia punya gaya," katanya dan kemudian dia melihat ke arah Ataya, "katakan padanya untuk datang kepadaku ketika dia ingin belajar menjadi penyihir sejati."

Ataya mengepalkan tinjunya dan hendak berbicara ketika Sanja menyentuh pundaknya. "Teman-temanku para penyihir," katanya, "gadis itu masih muda, dan Penyihir Kota Kembang telah menjadi rekan yang tak ternilai selama beberapa generasi. Bukan pertanda baik untuk berbicara buruk tentang mereka seperti ini. "

"Ya, Sanja," kata Nira. "Tapi dari mana dia berasal? Kita semua bisa melacak asal usul kita sampai pendiri kita yang menantang Kegelapan ribuan tahun yang lalu. Siapa pendiri dari Perkumpulan Penyihir Kota Kembang, hmm? Kita semua mendapatkan kekuatan kita dari masing-masing Sumber Api Kegelapan kita, tapi dari mana Penyihir Kota Kembang mendapatkan kekuatan? Mengapa sihir mereka sangat berbeda?"

Sanja berbicara dengan tenang. "Bijaksana selalu menjadi kode kita."

Nira menatap Ataya dan menjentikkan jarinya. Bola kaca merah darah muncul di tangannya. "Nak, apa kamu tidak capek tidak tahu apa-apa? Begitu banyak pertanyaan tapi tidak ada jawaban?" Dia bertanya pada Ataya. "Apa kau tidak ingin menjadi penyihir dengan kekuatan sendiri? Ambillah bola ini dan hancurkan kalau kamu ingin bertemu denganku. Aku akan datang."

"Kamu tidak harus menerimanya," Sanja memperingatkan Ataya.

Tapi Ataya punya pikirannya sendiri. Pertanyaannya sendiri. Dan semua yang Citraloka pernah katakan padanya untuk dilakukan adalah menunggu sampai dia siap, bahwa segalanya akan menjadi lebih jelas setelah inisiasinya.

Dia sudah dewasa kini, dan dia ingin menjadi seperti yang lain. Kuat. Percaya diri. Untuk bisa berjalan menembus dinding tanpa membenturkan kepala.

"Tidak apa-apa," kata Ataya pada Sanja saat dia membuka telapak tangannya. Bola kaca melayang ke arahnya.

"Kupikir Penyihir Kota Kembang harus dimaafkan," kata Sanja. "Dia telah melakukan tugasnya dengan kemampuan terbaiknya. Dia harus pergi. Sekarang."

Saras mencondongkan badannya. "Tapi kami hanya—"

Sanja mengangkat tangannya. Dia kemudian menoleh ke Ataya dan tersenyum sedih. "Kamu harus pergi sekarang," katanya dan memeluk Ataya, membisikkan sesuatu di telinganya. Ataya terlihat bingung saat Sanja mencium keningnya. "Berhati-hatilah," katanya.

Dan Ataya menghilang.

***

"Ambu pulang," kata Citraloka sambil mengeluarkan botol dan tabung dari tasnya. "Bagaimana pertemuannya? Apakah ada kejadian menarik?"

Ataya mengacungkan bola kaca di sakunya dan memutar lidahnya dengan gugup saat dia menggelengkan kepalanya.

Citraloka sudah selesai mengeluarkan barang-barangnya dan melihat Ataya dengan alis berkerut.

"Anakku," katanya, sambil mengelus kepala Ataya. "Kok diam. Kamu baik-baik aja?"

Ataya ragu-ragu. Kemudian, "Aku disuruh keluar."

"Apa?" Citraloka bertanya, amarah memancar di matanya dan percikan api biru keluar dari tubuhnya, "Jika itu Saras bahkan—"

"Bukan, bukan dia," kata Ataya, "Bibi Sanja. Dia bilang aku harus memberitahumu sesuatu. "

Citraloka memiringkan kepalanya.

"Dia bilang... Dia bilang aku harus memberitahumu bahwa mereka mencurigai. Bahwa mereka ... sudah dekat."

Citraloka menarik Ataya ke dalam pelukan erat saat dia menatap ke kejauhan, tidak mengucapkan sepatah kata pun.

Tak ada yang mampu mencegahnya.

Tak ada yang bisa dilakukannya.


BERSAMBUNG

Penyihir Kota KembangWhere stories live. Discover now