11. Langkah Pembukaan (Part 1)

65 5 0
                                    

"Ibuku adalah satu-satunya yang kumiliki, segala hal yang kutahu. Dan Citraloka mengambilnya dariku.

Maka aku akan mengambil semua yang dia cintai agar dia bisa mencecap asin air mataku, agar dia bisa menghirup amis darahku."

Niranjana, Penyihir Darah dan Air Mata

***

IPDA Agung duduk di mejanya dengan pion di jarinya. Di hadapannya bidak putih. Di seberangnya hitam.

Agung telah kehilangan benteng dan menteri, meski miliknya masih banyak, tetapi hitam lebih banyak lagi. Dan pion yang dipegangnya adalah penentu.

Waktunya tinggal lima hari lagi untuk menyerahkan laporan. Lima hari sampai tugasnya dicabut. Lima hari sebelum dunianya seperti yang dia tahu itu berubah dan runtuh menimpa kepalanya.

Dia butuh satu laporan. Hanya satu. Dia hanya perlu membawa seseorang. Dan hanya penyihir itu yang bisa dia pikirkan.

Agung ia memutar pion di antara jari-jarinya. Ini adalah kesempatan terakhirnya yang terlihat di kotak papan. Jika dia kalah, dia akan bermain dalam kegelapan melawan Entah-Apa. Risikonya besar, tapi begitu juga ganjarannya. Itu merupakan langkah awal, tapi apakah hasilnya sepadan?

Asistennya mengintip dari balik pintu.

"Sudah kubilang," katanya. Suaranya serak, "aku sedang berpikir. Dan sudah kubilang jangan pernah menggangguku saat aku sedang berpikir."

Namanya Nancy atau Ningsih atau sesuatu seperti itu, tetap melanggar perintahnya. "Saya — saya minta maaf, Pak," katanya. "Tapi — tapi ada orang yang ingin bertemu Bapak."

Agung menegakkan punggungnya. "Aku tidak menerima tamu."

Nancy—atau Ningsih—menarik napas panjang. "Saya tahu Pak," katanya. "Tapi dia bilang dia mengenal bapak secara pribadi. Dari Wisata Rimba."

Tubuhnya menegang. Masih memegang bidak, pikirannya kembali ke nyala api. Teror. Banjir darah.

"Pak?"

Dia meletakkan bidak di atas mejanya dan berdiri, matanya mengamati ruangan. Lalu jendela. Tempat yang memungkinkan untuk melarikan diri.

"Pak?"

"Apa warna bajunya?"

Nancy—atau Ningsih— menatapnya dengan jidat berkerut, matanya penuh dengan pertanyaan yang tak diucapkannya. "Ehm... merah, Pak."

"Biarkan dia masuk," katanya.

Ketika pintu ditutup, dia meraih laci meja dan mengeluarkan senjatanya. Dia memeriksa apakah berisi peluru, lalu meletakkannya.

"Pistol yang bagus."

Agung melompat mundur, senjatanya diarahkan ke kepala pemilik suara.

"Sayang sekali itu tidak akan ada gunanya bagimu," kata wanita itu, menatapnya, tersenyum, "percuma kamu tujukan itu kepadaku."

Agung melihat ke pintu. "Aku tidak mendengarnya terbuka."

Perempuan itu melambaikan tangan. "Pintu adalah untuk orang yang tidak memiliki imajinasi," katanya. "Sekarang, maukah kamu duduk, Detektif? Banyak yang harus kita diskusikan. "

Agung menatapnya sambil berhitung sepuluh hitungan, dan ketika dia yakin jantungnya tidak meledak menembus tulang rusuknya, dia duduk tanpa melepaskan senjatanya.

Perempuan itu melirik tangannya dan tersenyum.

"Tanyalah," katanya. Senyumnya menghilang.

Agung menatapnya. "Bertanya apa?"

Perempuan itu meletakkan tangannya di atas meja, menggeser kantong plastik KFC dan mengernyitkan hidung dengan ekspresi jijik.

Kemudian tatapannya kembali. Agung merasakan getaran hawa dingin menjalar di tulang punggungnya. Mata perempuan itu begitu gelap, begitu tajam, bagai terbuat dari bayangan.

"Aku tidak punya banyak waktu, Detektif," katanya. "Ada hal-hal besar yang tergantung pada kita. Ajukan pertanyaan yang perlu kamu tanyakan dan aku akan menjawabnya, dan setelah itu, kita bisa bicara."

Dengan tubuh gemetar dan air mata bercucuran, Agung bertanya, "Mengapa?"

Hanya itu yang ingin ditanyakannya.

Perempuan itu menatapnya dengan tatapan sedingin es.

"Dia bukanlah seperti yang kamu kira. Aku melakukan apa yang harus kulakukan untuk perkumpulanku. Demi kebaikan semua penyihir."

"Dia tidak ada hubungannyadenganmu." Tangan Agung semakin erat mencengkeram pistol. "Dia tidak adahubungannya sama sekali dengan kalian!"


BERSAMBUNG



Penyihir Kota KembangWhere stories live. Discover now