3. Kisah Sang Ratu (Part 1)

322 5 0
                                    

Seorang perempuan tua dengan bekas luka nan compang-camping di pipinya tinggal sendirian di desa pinggiran kota.

Semua orang mengenalnya. Dengan mulut menganga, mereka akan berbisik-bisik berdengung dengan suara rendah ketika dia melintas di alun-alun pasar—satu-satunya saat dia memasuki kota—untuk membeli buah dan sayuran.

Pada malam hari, kata mereka, seolah-olah ada yang memberi perintah, dia akan meloncat tinggi dan menendang. Dia akan tengkurap di tanah dan merangkak, kemudian berdiri dengan sikap waspada penuh, memeriksa sekelilingnya dengan mata tajam.

Beberapa pemuda yang pernah menyelinap untuk melihatnya sambil bercanda dan tertawa-tawa, dan dia memergoki mereka. Tawa dan canda itu berhenti selamanya.

Begitu pula dengan kegiatan mengintip para warga.

Ketika matahari terbenam dan malam menjelang, tiga anak, dua laki-laki dan satu perempuan, tidak lebih yang berusia lebih dari 10 tahun, mendatangi gubuk satu-satunya di ujung jalan setapak, dan mereka akan duduk di tanah di depannya, menunggu perempuan tua itu datang. Dan dia akan bercerita kepada mereka.

Dia bercerita tentang raja-raja kuno, Sasakala Sangkuriang, Ki Sunda Purba, cerita yang tidak diketahui oleh siapa pun di desa. Dia akan menceritakan kepada mereka kisah-kisah tentang Nyi Pohaci Sanghyang Asri, dewi dari mana segala sesuatu lahir. Dia bisa membuat mereka tertawa dengan cerita orang-orang di kerajaan.

Dia datang hanya seminggu sekali, tapi dia tahu semua kejadian, siapa yang tidak setia dan berselingkuh dengan siapa.

Dia juga bisa membuat mereka takut.

Dia membuat mereka sangat ketakutan sehingga saat mereka berjalan pulang kembali ke rumah mereka di desa, badan gemetar dan tersentak saat melihat bayangan mereka sendiri. Tetapi mereka senang mendengar cerita wanita tua itu, dan dia, sebaliknya, senang menceritakannya kepada mereka.

Hari ini, mereka pergi ke gubuk wanita itu, yang dipenuhi bekas luka baru yang belum pernah mereka lihat. Angin meniup berkesiur ke sana kemari menebarkan aroma masa lalu dari pintu gubuk yang terbuka. Udara dipenuhi dengan wangi manis masakan wanita itu di panci besarnya, di atas api kecil di sebelah gubuknya.

Tulang-tulang ayam hutan berserakan di dekatnya.

Mereka bertiga perlahan-lahan mendekati perempuan tua yang memunggungi mereka. Tentu saja mereka telah mendengar tentang apa yang terjadi dengan para pemuda dan tahu bahwa tidaklah bijaksana untuk melakukan gerakan tiba-tiba di sekitar perempuan itu.

Dia lebih kuat dan lebih cepat dari penampilannya. Salah satu dari pemuda yang kehilangan tawa dan canda adalah seorang opsir.

"Bibi," kata Enah, yang tertua dari tiga bersaudara. "Kami datang untuk mendengar cerita."

Dua adik laki-lakinya, Nyonyon dan Dikdik mengangguk.

Wanita itu tidak membalikkan punggungnya. Dia terus mengaduk sup. "Duduk," katanya, dengan tekanan suara yang mampu menundukkan macan. "Makan dulu, baru cerita."

Anak-anak mengangguk dan duduk saat dia memberi mereka mangkuk dan sendok keramik, lalu menyendok sup ayam ke masing-masing mangkuk.

Mereka makan dalam diam. Makanannya terasa enak seperti baunya.

Setelah mengumpulkan piring mereka, dia duduk di depan mereka bertiga. Matahari menuruni kaki langit dan sinarnya memancarkan cahaya gaib.

Dia terbatuk. "Anak-anak," katanya, "Aku telah bercerita kepada kalian tentang banyak hal. Aku telah mendongeng kisah-kisah yang telah diturunkan dari zaman ke zaman. Hari ini, jika kalian mau mendengarkan, aku akan menceritakan kisah tentang penyihir, yang menurut sejarah, dulu tinggal di sini, "dia menunjuk ke belakangnya, "di gubuk ini."

"Jadi," kata Dikdik, dia yang termuda dan yang paling pendiam, "cerita-cerita itu benar? Seorang penyihir pernah tinggal di sini?"


BERSAMBUNG

Penyihir Kota KembangWhere stories live. Discover now