9. Perampokan (Part 1)

100 4 0
                                    

"Malam hari membuatku takut. Bayangan, mereka hidup. Aku takut mereka mengingatku."

-Ametia, Penyihir Kota Kembang

Ningsih lelah.

Dia telah bekerja selama hampir dua belas jam dan membutuhkan istirahat dengan darah. Diam-diam dia mengutuk Caca dalam hati karena memintanya menggantikan gilirannya. Tapi cara Caca meminta, pandangan matanya yang memelas, getar bibirnya—

Dia menggelengkan pikiran, membuang pikirannya tentang Caca dari kepalanya, sambil menegakkan kepala di atas meja. Tepat waktu, karena seorang lelaki tua dengan pakaian lusuh dan bekas luka yang menggores mata kirinya datang dengan terseok-seok ke arahnya.

"Maaf, Nyonya," katanya. Suaranya kasar, tegang. "Saya mencari cucu saya. Mungkin Nyonya pernah melihatnya di sekitar sini."

Ningsih mengerutkan alisnya. Rumah Gajah punya pintu masuk dari sisi lain.

"Ini bukan lift untuk umum, Ki," katanya.

Lelaki itu melihat sekeliling. "Cucu saya tidak ada di sini?"

"Ki," kata Ningsih dengan tenang. "Jika cucumu ada di sekitar sini, saya pasti tahu."

Dia memperhatikan lelaki tua itu. Pakaiannya, matanya, sikapnya, dan hati Ningsih melembut. Lelaki mengingatkannya pada kakeknya sendiri. Dia menambahkan, "Tapi saya bisa membantumu mencarinya."

"Terima kasih," kata lelaki itu, mengangguk dan tersenyum. Giginya terlihat rapi dan masih lengkap. Gigi yang kuat untuk seseorang seusianya.

"Jadi, seperti apa dia?" tanyanya sambil berdiri.

Orang tua itu mengangguk. "Itu pertanyaan yang bagus."

Ningsih menunggu sebentar, lalu bertanya, "...Ki?"

"Iya?"

"Saya bertanya seperti apa cucu Aki?"

"Oh, oh," katanya. "Yah, dia laki-laki."

Mata Ningsih menyipit. "Cucu Aki ... laki-laki?"

"Ya," katanya sambil mengangguk.

"Uhm..." gumam NIngsih.

Orang tua itu mengatakan sesuatu. Ningsih yakin dia akan mengatakan sesuatu, ketika mendadak dia terjungkal dan mulai batuk-batuk hebat.

Ningsih bergegas meninggalkan pintu lift dan menahan tibuh lelaki itu itu. "Aki," katanya sambil menepuk-nepuk punggungnya. "Aki."

Mendadak kepalanya dihantam dengan benda tumpul. Dia menjerit. Dan kemudian dunia menjadi gelap.

***

Oloan memandang perempuan yang tergeletak di lantai dan tersenyum. Dia membungkuk untuk menyentuhnya ketika Citraloka masuk dan menatap langit-langit Rumah Gajah dengan penuh kekaguman.

Begitu Citraloka melangkah melewati pintu utama gedung, dia memejamkan mata dan bergidik. Padahal dia bukanlah perempuan yang gampang bergidik.

Burako memeriksa senjatanya dan mengangguk ke Citraloka. Dia telah melepas penyamarannya dan menggaruk dagu.

"Kau benar," katanya. "Pistol ini terasa ... normal. Kosong."

"Mereka menemukan cara untuk meniadakan sihir di sini," katanya. "Semua sihir kecuali sihir mereka sendiri."

Entah bagaimana, Citraloka tampak lebih lemah. Kulitnya pucat dan suaranya parau.

Burako tahu, jika dia ingin membunuhnya dan mengambil uangnya, sekaranglah waktunya. Tapi ada dua masalah. Yang pertama, dia tidak tahu di mana dia menyembunyikan uang itu. Dan yang kedua lebih pahit lagi—dia tidak yakin perempuan jalang itu bisa mati.

Burako merogoh saku perempuan itu dan mengambil serentengan kunci. "Begitu," katanya, melemparkannya ke Citraloka.

"Bagus," kata Citraloka menangkap kumpulan kunci, dan menyeka keringat di dahinya.

Mereka berempat memasuki lift. Citraloka mengetuk bagian panel, dan lubang kunci muncul.

"Kalian siap," katanya. "Atau kalian semua akan mati di sini. Mati yang menyakitkan."

Burako mendengus. Oloan mencibir. Kei merintih.

Citraloka memasukkan kunci itu ke dalam lubang. Lift turun ke kegelapan, ke lantai bawah tanah tempat tinggal para penyihir Air Mata dan Darah.

***

Niranjana duduk di depan meja kayu beringin dan menandatangani kertas mantra yang akan membunuh setidaknya tiga keluarga.

Tapi darah itu perlu. Mereka punya rencana, dan rencana itu perlu pengorbanan.

Dia mendengar bunyi lift dan mendesah. Siapa yang memesan pizza? Dia berdiri.

"Aku harap supreme meat lover double cheese, atau akan ada kepala yang menggelinding."

Dia meninggalkan ruangannya yang diukir di dinding gua, dan memasuki aula.

Citraloka berdiri di sana, mengenakan gaun biru tua, tangannya di saku, matanya tajam tak berkedip.

"Aku hanya mampir," katanya sambil tersenyum kecil. "Maaf, tadi tak sempat membeli pizza."

"Kamu perempuan pemberani," kata Nira. "Aku akan—kau punya nyali datang ke sini. Melanggar Perjanjian Lajnah. Kamu benar-benar punya nyali. Sayang kamu akan mati."

Citraloka mengangkat bahu dan maju selangkah. Nira tak suka melihat betapa nyamannya dia.

"Aku akan mati suatu hari nanti," kata Citraloka sambil tersenyum dingin, "tapi yang pasti bukan hari ini."


BERSAMBUNG

Penyihir Kota KembangWhere stories live. Discover now