5. Pengangkatan (Part 1)

215 5 0
                                    

"Ada rahasia yang tidak pernah dimaksudkan untuk diketahui. Rahasia yang akan mengacaukan pikiran dan memelintir lidah. Rahasia yang ada sejak semula dan akan selalu ada pada akhir. Dan akhir akan datang padanya, pada waktunya."

- Mbah Doko Sahir.

***

Untuk menjadi penyihir, pengorbanan harus dilakukan.

Dan pengorbanan untuk setiap komunitas penyihir, harga yang harus dibayar sebelum seseorang dapat diberikan kekuatan penyihir penuh tidaklah sama.

Setiap perkumpulan penyihir memiliki ritualnya masing-masing, tetapi bagi para anggota KOHIRKOBANG, selalu dilakukan di Sungai Cikapundung yang mengalir di dasar gua, di bawah toko Jalan Braga 3210, atau 666, kadang-kadang 6 6/6, di Bandung.

Mereka semua berdiri di tepi sungai berbalut dengan gaun biru.

Saat itu malam gelap, dan angin dingin entah dari mana menyapu mereka seperti roh yang tak sabar.

Selalu ada risiko dalam apa pun yang berhubungan dengan sihir. Selalu ada konsekuensinya. Citraloka tahu itu dengan baik.

Saat dia melihat ke arah Ataya yang berlutut di depan mereka, tubuhnya menghadap ke sungai, dia berharap gadis itu juga mengetahuinya.

Citraloka mundur selangkah dari sisi para penyihir. "Ataya Khirani," kata Citraloka. Suaranya terdengar seperti bergaung seakan bukan dari kerongkongan manusia. "Berdiri."

Ataya berdiri. Tangannya gemetar.

Citraloka berjalan perlahan ke sampingnya. "Kamu tidak harus melakukan ini," dia berbisik, "ucapkan kata itu, dan Ambu akan membawa kita semua pulang."

Ataya menatap Citraloka. Dia ketakutan. Ya, Ataya ketakutan.

Citraloka pernah melihat ketakutan itu sebelumnya, ketika dia masuk sekolah untuk pertama kalinya. Dia masih sangat kecil. Tentu saja, dia memutuskan bahwa sekolah manusia biasa bukan untuk Ataya, tapi itu setelahnya.

Dia takut, Citraloka tahu. Tapi Ataya menginginkan ini. Dan Citraloka tidak berdaya untuk menghentikannya.

Ketika seorang penyihir pemula berusia 18 tahun, mereka punya pilihan. Untuk melakukan upacara inisiasi dan menjadi penyihir, atau pergi untuk tidak pernah kembali. Ataya telah memilih yang pertama, dan membuat hati Citraloka hancur berkeping-keping.

Kehidupan seorang penyihir sulit. Seperti segala sesuatu di bawah matahari, ada harga yang harus dibayar. Harga yang sangat mahal.

Citraloka berbalik menghadap kelompoknya. semuanya berderet menatap sungai dengan kaku. Mereka semua telah melalui cobaan. Mereka semua pernah melihat di bawah sungai.

"Para penyihir," seru Citraloka. Suaranya terdengar sampai jauh, "kita datang hari ini untuk pengangkatan penyihir," dia memandang Ataya sekarang, "Ataya, putri kita, ke dalam kelompok kita."

Dia melihat para penyihir yang hadir. Mereka datang dari berbagai belahan dunia, semua dengan temperamen berbeda.

Tatapannya berlama-lama ketika dia sampai di Chintami.

"Ada yang keberatan?" Dia menatap ke sekeliling, ada bara menyala di matanya. Bara api yang tidak ada yang berani menentang. Dan memang tidak ada yang melakukannya.

Citraloka mengangguk. Kemudian kepada Ataya, dia berbisik, "Hati-hati." Dan kemudian dengan suara lantang, "Masuklah, Ataya Khirani, ke sasar sungai leluhur kita dan hadapi ujian para Penyihir. Semoga keberuntungan bersamamu. Semoga kekuatan penyihir membimbingmu."

"Semoga kekuatan penyihir membimbingmu!" seru para penyihir serempak bergema di rongga gua.

Ataya turun ke dalam air.


BERSAMBUNG

Penyihir Kota KembangWhere stories live. Discover now