10. Mimpi-Mimpi (Part 1)

95 6 0
                                    

"Pejamkan mata dan rasakan. Rasakan kehangatan sinar mentari merayap di wajahmu, keajaiban mengalir mengisi pembuluh darahmu. Kehidupan."

Nanja, Penyihir Matahari

***

Di belakang meja kasir Toko Serba Ada Nyi Citraloka Jl. Braga 3210, atau 666, kadang-kadang 6 6/6—tergantung kemampuan psikis pengamat, di balik tabir yang menghalangi pandangan mata manusia, terletak markas para Penyihir Kota Kembang yang sebenarnya.

Setiap komunitas penyihir punya markas sendiri. Para Penyihir Matahari mendiami gubuk-gubuk reyot yang mengelilingi rumah kaca di perkebunan yang luas dilindungi oleh sihir. Liga Penyihir Seteru di tempat penampungan di lokasi yang tidak diketahui di mana tiga ratus pria, wanita dan anak-anak dibantai selama Perang Bubat. Klub Penyihir Darah dan Airmata tinggal di bawah Rumah Gajah. Penyihir Malam ... markas mereka tidak diketahui selama berabad-abad. Atau, tepatnya, tidak ada yang pernah ke sana dan kembali.

Dan selama berabad-abad, para Penyihir Kota Kembang menempati di sebuah gua tempat air sungai Cikapundung membentang di bawah tanah. Gua Penyihir Kota Kembang adalah satu-satunya markas yang tidak dibangun oleh tangan manusia. Gua itu hadiah dari para dewa, atau begitulah menurut legenda.

Di malam hari, penyihir Kota Kembang pergi ke kamar masing-masing yang diukir di batu dan matra, dan mereka tidur.

Dan beberapa dari mereka, sayangnya, bermimpi.

Ketika tidur, manusia berhadapan dengan pikiran yang disembunyikan di alam bawah sadar, yang menjadi hidup untuk menghantui tidur.

Dan tidak ada yang memiliki pikiran yang lebih berbahaya daripada penyihir.

***

Ataya menggelepar lasak dan gelisah di tempat tidurnya saat pikirannya membawanya ke tempat-tempat yang tidak ingin dia kunjungi. Mimpinya gelap dan keruh, basah kuyup dengan hasrat keinginan yang tersembunyi.

Dalam mimpinya, dunia berubah menjadi ruangan gelap hampa. Hanya dia yang ada di dalamnya.

Dia berdiri dan melihat sekeliling, tetapi kegelapan bagai bernyawa, menyelimuti dan hidup. Dia bisa merasakan detak jantung kegelapan bersamaan dengan detak jantungnya, memanggilnya. Merayunya dengan sangat lembut.

Di tengah ruangan sebuah bola kaca merah mengambang di atas telapak tangannya. Bola itu menyala bersimbah darah, bersinar penuh energi. Dia mendapatkan bola itu dari Niranjana beberapa bulan lalu, tapi dia tahu itu bukan karena dia adalah seorang penyihir yang baik. Penyihir Darah dan Air Mata tak menginginkan apa pun ... selain darah dan air mata.

Tapi apa yang dikatakan Niranjana pada hari sidang lajnah itu benar. Attaya butuh menemukan jati dirinya sendiri, menjadi penyihirnya sendiri, meskipun Citraloka menahannya dan menyuruhnya untuk bersabar.

Selalu memintanya untuk bersabar.

Ataya sudah lelah bersabar.

Dia mengulurkan tangannya untuk meraih bola, dan ... ruangan itu memudar menjadi biru, dan dia berada di dasar laut yang dalam dengan ikan-ikan hiu berenang di sekitarnya.

Ataya menahan napas dan berputar dan berputar. Pertanyaan bergema dalam benaknya. Apa yang bisa menakuti hiu?

Dua sosok tubuh berenang ke arahnya. Meski Ataya tidak bisa melihat mereka dengan jelas sejelas merasakan kehadiran mereka, nafsu purba yang mereka pancarkan menyapu dirinya. Mata mereka sewarna dengan air, dan tampaknya mereka adalah perempuan, padahal sebenarnya bukan.

Ataya mencoba berenang, tetapi tubuhnya tak lagi menurut pada akalnya. Dia mencoba berteriak tetapi mulutnya terkunci.

Sosok-sosok itu berenang ke arahnya perlahan. Ketika mereka sudah cukup dekat, mereka menusuknya dengan belati perak. Mereka mengamatinya. Dan setelah selesai, mereka tersenyum.

Mereka hanya mengatakan dua kata.

"Bagus, keponakan."

Kemudian, mulutnya terbuka. Dia berteriak.


BERSAMBUNG

Penyihir Kota KembangWhere stories live. Discover now