4. Lajnah Lima (Part 1)

229 6 1
                                    

Tepat tengah malam. Bulan baru segaris tipis muncul di langit. Malam paling gelap. Saatnya Lajnah Penyihir mengadakan pertemuan.

00:00

Sanja Mawinei tidur lelap. Dia tidak bermimpi lagi karena dia telah membunuh semua mimpinya sejak lama sebagai pengorbanan kepada para dewa.

Dia tergugah karena guncangan kuat, dan secara naluriah dia tahu bahwa inilah saatnya. Dia memindahkan tangan suaminya yang sedang mendengkur, mengambil kain kuning di nakas samping tempat tidur dan mengikatnya di kepala, lalu menghilang.

***

00:00

Fine Niha sedang mendapat giliran shift malam. Pekerjaan yang buruk dengan gaji yang buruk. Salah satu rekan kerjanya menatapnya sepanjang malam, mengedipkan mata padanya dengan genit dan sebagainya. Dia membuat catatan mental tentang lelaki itu lalu menghela nafas. Dia benci stres, dia benar-benar benci. Yang dia sukai adalah membunuh laki-laki.

Mereka semua layak mendapatkannya.

Gelombang magis membuat tubuhnya bergetar hingga tersentak. Dia mematikan laptopnya, meraih kain hitam dari bawah meja lalu beranjak ke kamar mandi, mengabaikan sepasang mata yang mengikutinya.

Masuk ke dalam salah satu bilik kosong dan mengikat kain hitam tadi di kepala.

Dan begitu buhulnya terpasang sempurna sepenuhnya, dia menghilang.

***

00:00

Jika ada sesuatu yang dibenci Niranjana, itu adalah lamban.

Ya, lamban dan orang-orang yang memakai earphone nirkabel.

Dia duduk di bak belakang Chevy Silverado merah metalik 2014 saat mobil itu melaju di jalan raya, dan dia mengetuk kaca jendela belakang dan menyuruhnya mengemudi lebih cepat. Kalau tidak, sang sopir akan mati disambar petir. Secara harfiah.

Pengemudi terakhirnya adalah sepupu si sopir dan mereka mengubur abunya akhir pekan lalu, jadi dia tahu kalau Nira bukan sekadar menggertak.

"Eh ..." pria itu tergagap, berbalik.

Siapa namanya, Komang? Dia tampak seperti Komang.

"Apa?" bentak Nira.

"Maaf—maaf ... kamu... menyuruhku..."

"Ngomong yang jelas!" teriak Nira.

"Jam dua belas," kata Komang, hampir menangis, "sekarang ... jam dua belas."

Nira bisa merasakan jari-jarinya bergetar hingga kesemutan.

"Cari taman yang sepi," katanya. "Lalu taruh kepalamu di setir, tutup matamu dan hitung sampai seribu."

Komang melakukan seperti yang diperintahkannya.

"1,2 ..." dia menghitung saat Nira mengeluarkan sepotong kain berwarna darah dari balik beha.

Dia membungkusnya di sekeliling kepalanya dan menghilang.

***

00:00

Bukan hasil, tapi kesenangan yang didapatnya saat merampok yang membuat Saras Andu tersenyum saat kasir perlahan memasukkan semua uang ke dalam tas. Tentu saja dia berani berbuat aneh-aneh. Moncong SIG P238 yang mengarah ke wajahmu pasti membuatmu tak berani melakukan hal-hal aneh.

Sarah sungguh ingin menembaknya.

Kasir belum membuatnya kesal. Tapi dia laki-laki, dan Saras menyimpan ruang khusus di hatinya yang disediakan untuk kebencian terhadap ... tangannya sedikit gemetar.

"Brengsek," katanya kepada kasir yang menangis sekarang, "jam berapa sekarang?"

Dia perlahan melihat arlojinya. "Ini ... tengah malam," katanya.

Saras memutar bola mata. "Kunci tempat ini dan tutup semua jendela, lalu pergi ke toilet dan kunci dirimu di sana."

Dia mengeluarkan kain ungu yang kusut dari sakunya dan mengikatnya di kepalanya. Lalu menghilang.

***

18.00 (enam jam sebelumnya)

"Ataya," kata Citraloka, saat mereka duduk berseberangan, "coba ulangi apa yang barusan Ambu katakan padamu."

Ataya mengerucutkan bibirnya.

"Tepat tengah malam, pukul dua belas," katanya, "aku harus memakai bandana di kepalaku."

Citraloka mengangguk. "Ya, dan ...."

"Dan aku tidak boleh mempercayai para penyihir. Mereka ... jahat. Dan kita tidak," dia menambahkan.

"Ya, dan ...."

"Aku harus memberi tahu mereka bahwa Ambu pergi ke Hutan Nirmala untuk mendapatkan bahan untuk mantra baru dan Ambu tidak bisa kembali dalam waktu dekat dan itulah sebabnya mengapa aku yang hadir mewakili Ambu."

Citraloka mengangguk, "Bagus. Ambu akan kembali besok pagi. Jaga toko baik-baik. Chintami sedang sibuk, dan Firli sedang di luar. Tinggal kamu, Ataya. Hanya kamu. "

Ataya mengerutkan alisnya. "Bagaimana dengan yang lainnya?"

"Ambu tidak mempercayai mereka."

"Tapi mereka bagus."

Citraloka mengangkat bahu. "Mungkin. Tapi Ambu masih tidak mempercayai mereka. "

"Ametia topinya lucu."

"Itu rambutnya, Ataya."

"Tapi lucu. Kita harus mempercayainya. "

"Ambu tidak ... Ambu tidak berpikir rambut seseorang adalah dasar yang cukup kuat untuk mempercayai mereka atau tidak."

"Oh, tidak?" kata Ataya, kecewa. Lalu, "Mestinya sih, iya."

"Seharusnya tidak, Ataya."

"Kenapa tidak?"

Citraloka berdiri dan menebah debu yang tak ada dari celananya, "Karena, sayangku, orang-orang adalah jenis yang jahat dan kadang-kadang, orang jahat juga memiliki rambut yang lucu."

Ataya melongo.

"Ambu serius," kata Citraloka sambil mengangguk. Dia menjentikkan jarinya, dan Bubuy Hideung muncul entah dari mana dan bersandar di kakinya, mendengkur manja. "Tapi sekarang, Ambu harus pergi. Ataya, jaga diri baik-baik dan jangan khawatir. Kamu akan melakukannya dengan baik."

Lalu Citraloka bertepuk tangan dan membuat gerakan, bunga api biru muncul dari udara menelannya dan dia menghilang.

Tinggallah Ataya di Toko Serba Ada Nyi Citraloka, menatap selempang biru di tangannya.


BERSAMBUNG


Penyihir Kota KembangWhere stories live. Discover now