7. Medan Pertempuran

159 5 0
                                    

"Penyihir tidak pernah mati. Kami berjalan dengan anggun menuju cinta."

Chintami, Buku Harian, 2017.

____

Tiga hari berlalu.

Citraloka dan Chintami telah mengelilingi pulau itu tiga kali dan tidak menemukan jalan keluar. Hari-hari panas dan malam-malam dingin tanpa bintang, yang mengganggu Citraloka. Ke mana bintang-bintang pergi?

Mereka duduk di tepi pantai dan menyaksikan matahari terbenam dalam kegelapan.

Chintami menatap Citraloka di sampingnya. "Waarom haat hij je zo? Mengapa dia sangat membencimu sampai melakukan sesuatu seperti—" dia mengangkat tangannya ke udara,"— ini?"

Citraloka mengangkat bahu. "Bisa jadi karena banyak hal," katanya.

"Misalnya..."

"Bisa jadi karena tinggi badan. Saya jauh lebih tinggi dari dia, mungkin itu yang membuatnya tidak nyaman."

Chintami melotot. "Of omdat..."

Citraloka mengangkat bahu lagi. "Mungkin dia iri dengan suaraku. Punya dia menjijikkan. Kamu sudah dengar dia tertawa, kan?"

"Citra!"

"Yah, mungkin ada satu sebab lagi, tapi menurutku bukan itu. Itu terlalu konyol, hampir tidak layak disebut, sungguh."

"Sebutkan."

"Baiklah," Citraloka memulai, "sekitar seratus tahun yang lalu atau mungkin lebih, mungkin secara tidak secara tidak sengaja—sebenarnya sengaja, sih, lebih baik kalau aku terus terang saja dan aku akan mengatakannya sendiri, sejak dulu—aku mungkin telah—singkat cerita— melemparkan bapaknya ke dalam kawah gunung berapi yang sedang batuk."

Mata Chintami terbelalak. "Wat?"

"Bapaknya adalah seorang dukun yang mengerikan, penyihir yang jahat. Dia mengorbankan anak-anak melalui mimpi, Tami. Anak-anak."

"Dus ...," kata Chintami, "jij membunuhnya."

"Bukan aku," kata Citraloka, sambil menatap kuku-kuku jarinya. "Aku cuma melempar dia. Gravitasi dan magma yang membunuhnya."

Chintami menutup wajahnya dengan telapak tangan. "Ya Tuhan, Citra. Kamu pikir membunuh bapaknya tidak ada hubungannya dengan keinginannya untuk membalas dendam?"

Citraloka berdiri dan membersihkan pasir dari gaunnya, membantu Chintami untuk berdiri juga. "Aku pikir dia sudah melupakannya."

Bola mata Chintami berputar-putar. "Zo, bagaimana kita meninggalkan tempat ini?"

Citraloka menatap ke arah matahari terbenam. "Kita tidak akan meninggalkan tempat ini," katanya.

"Tapi kita harus pergi. Kita masih punya, je weet wel, kehidupan."

Citraloka tiba-tiba berbalik dan mencengkeram pinggang Chintami, menariknya hingga dahi mereka hampir bersentuhan. "Kita tidak [ergi ke mana-mana," desahnya, "karena kita tidak benar-benar di sini."

Chintami menatap mata Citraloka. " Hoe doe je..." dia terdiam.

"Bintang-bintang, Tami," kata Citraloka, cengkeramannya erat. "Apa yang terjadi dengan bintang-bintang? Mengapa kita tidak merasa lapar atau lelah?"

Chintami menggengam gaun Citraloka di tangannya. Jadi, ini ilusi?

Citraloka menatap matanya dan menggenggam tangan Chitami erat-erat. Saat dia melepaskannya, dia bisa merasakan detak jantungnya kembali berdenyut. Chintami terengah-engah seperti baru saja berlari.

"Benar," kata Citraloka dan mengangkat tangannya kembali ke udara, membiarkannya tergantung. Suaranya rendah dan dalam, "Aku tidak suka diancam." Dia meremas tangannya, dan Mbah Doko muncul, lehernya remuk dalam genggaman tangan Citraloka.

Langit menjadi gelap, dan kilat menyambar.

Petir berwarna biru.

"Kamu ..." Mbah Doko berhasil mengeluarkan suara saat mencoba berbicara dengan ludah bercampur darah menetes di dagunya, "kamu ... betina jalang."

"Kamu mencoba membunuhku," desis Citraloka. "Kamu mencoba menyakiti ..." dia memandang Chintami dan kemudian kembali ke Mbah Doko, "seorang teman."

"Dia ... adalah satu-satunya ... satu-satunya ... yang ada bersamamu ... kamu miliki," kata Mbah Doko, matanya merah karena pembuluh darah yang pecah.

"Aku tak peduli," kata Citraloka. Petir menyambar hutan di belakang mereka. Api biru membakar segalanya.

"Citra," kata Chintami sambil menatap api yang menyala-nyala.

Citraloka tak menggubrisnya. Mengangkat Mbah Doko dengan satu tangan, tubuhnya berderak diselubungi cahaya biru, "Aku. Tak. Peduli."

Dengan kedua kaki tergantung di udara, Mbah Doko menatap Chintami. Nyawa mulai meninggalkan tubuhnya.

"Dengar..." dia berkata terengah-engah, "aku ... aku ingin memberitahumu sebuah ... cerita. Kisah ... kisah... tentang seorang gadis yang memiliki dua saudara perempuan ... yang keduanya meninggal... .... tapi ... tapi dia hidup!"

Dan dengan suara gelak tawanya yang menyakitkan telinga, berdenguig di udara dan berhenti setelah Citraloka mematahkan lehernya dan membiarkan tubuhnya roboh di tanah.

Hujan mulai turun.

"Dia sudah tewas," kata Chintami sambil menatap mayat lelaki kerdil di depannya.

Citraloka berjalan mendekat dan memegang dagu Chintami.

"Kamu tidak akan mengingat semua ini. Sekarang dia sudah pergi, mantranya akan hancur dan kita berdua akan terbangun."

Citraloka menarik kepala Chintami dan menciumnya, dan menatapnya dalam-dalam. "Kamu tidak akan mengingat semua ini."

***

Citraloka sedang membersihkan etalase toko sementara Ataya berkeliling menghitung stok. Dia mengeluarkan ponselnya dan menekan layar.

"Halo, Chintami," katanya, "apakah kita jadi makan malam merayakan ulang tahun kepenyihiran kamu nanti?"

Suara Chintami terdengar lelah. "Ekke rasa kita tunda aja, ya. Badan ekke rasanya sakit semua. Ekke baru bangun tidur."

Citraloka diam sejenak sebelum berkata, "Oh oke, tidak apa-apa. Mungkin lain waktu."

"Oke," kata Chintami.

Citraloka menatap ponselnya sejenak dan memasukkannya kembali ke sakunya, bersiul saat dia mengatur etalase.

***

Chintami melihat ke luar jendela dapur setelah sambil meletakkan ponselnya di meja. Pikirannya mencoba memproses mimpi anehnya tadi malam. Dia tidak seharusnya mengingat, tapi dia ingat.

Kata-kata itu ... terdengar di kepalanya dan memanggil dan berteriak agar dia mengingatnya, tapi dia mengabaikannya saat mencuci piring.

"Chintami!" suaminya berseru, "Aku kembali."

"Sebentar!" sahutnya. Dia mengeringkan tangannya dan meninggalkan dapur. Kata-kata itu tanpa henti ata mengikutinya. Dia mendengarnya dalam tidurnya, saat dia diam dan saat dia dan suaminya keluar untuk menikmati hari.

Ada sebuah cerita, katanya, sebuah kisah tentang seorang gadis yang memiliki dua saudara perempuan. Mereka sudah mati sekarang, tapi dia hidup.

Dia hidup.


BERSAMBUNG

Penyihir Kota KembangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang