02

14 7 0
                                    

02

Davina berlarian menuju halte busway, ia telat. Dengan nafas yang memburu Davina menambah kecepatan berlarinya.

"Ini gara-gara cwok sialan tadi malem."

Entah atas dasar apa Davina justru kembali menyalahkan laki-laki yang ia temui semalam.

Ketika Davina hendak men tap kartu buswaynya,    Davina merogoh kedalam tas, namun ia tak menemukannya, ia meraba saku celananya, tapi tak juga ia temukan. Davina panik, seperti kartu buswaynya tertinggal dikosannya.

"Gw mimpi apaan sih semalem, drama pagi-pagi banyak banget, mulai dari kesiangan, sekarang kartu gw ketinggalan lagi. Arrgghhh." Davina meracau.

Tidak ada pilihan lain, akhirnya Davina memesan ojek online dari aplikasi hijau.
Ia mulai mengetik tujuan lokasi.

Tak sampai lima menit sang driver pilihan dari aplikasi sudah datang.

"Davin--" ucapan driver itu terhenti, lantas sang driver membuka kaca helmnya, "Loh, kok lu, sih? Dunia sesempit ini ya, sampe gw harus ketemu orang sesat kaya lu."

Ya, driver itu adalah laki-laki yang semalam Davina jumpai. Sama dengan laki-laki itu, Davina juga terkejut.

"Hah! Sesat kata lu? Eh kita baru ketemu tadi malem, bisa-bisanya lu anggep kalo gw manusia sesat, gila kali lu." Davina.

"Iya, gara-gara lu semalem ngasih informasi palsu, gw mesti muter lewat belakang. Padahal portalnya masih buka sampe jam dua belas."

"Lah, mana gw tau, kalo seandainya gw tau itu lu, gw cancel tadi." jawab Davina tak mau kalah.

"Sekarang lu mau naik apa nggak, kalo seandainya nggak, lu harus tetep bayar sesuai argo yang tertera diaplikasi." 

"Dih, gak bisa gitu dong." Davina melakukan pembelaan, akhirnya ia menurunkan ego, melawan hati, dan mengikuti apa kata logika, "Yaudah, dari pada gw telat." sambungnya dengan nada merendah kali ini.

Dengan motor matic berwarna hijau toska driver itu membawa Davina menuju tempatnya berkerja. Baik Davina maupun driver tadi menambah kesibukan ibu kota ditengah para manusia yang berlalu lalang hendak berpergian, ya keduanya kini berada dalam bagian itu.
Tak ada percakapan diantara kedua, Davina fokus memperhatikan jalan, beberapa kali ia melihat jam yang terlingkar dipergelangan tangannya.

Akhirnya Davina sampai. Segera Davina melepaskan helmnya dan memberikan selembar uang kepada driver tadi. Sang driver memandang tempat sekelilingnya itu.

"Ck, kenapa lu kerja disini coba. Ini kan tempat gw dulu sama mantan gw." celetuk sang driver sembari mengambil uang yang diberikan Davina.

"Eh, hubungannya apa? Gw aja gak tau kalo ini tempat lu nongkrong sama mantan lu. Mana kembaliannya, masih kembali itu." Davina.

Alih-alih memberikan kembalian, driver tadi malah mengulurkan tangan mengajak berjabat tangan dengan Davina.

"Gw, Bagas." katanya.

Davina menautkan alisnya tak faham.

"Kok, jadi kenalan, kan gw minta kembalian gw."

"Heh! Lu gak pengertian banget sih, kasian tuh author bingung ngejelasin karakter gw, kan kalo udah ada namanya enak."

Bagas pengertian deh, wkwkw.

"Oh, iya. Gw Davina, gw mau manggil lu tabung gas LPG aja, soalnya lu suka ngegas." setelah berkata demikian Davina lari terbirit-birit menuju restoran, ia melupakan kembaliannya.

Kali ini, rasanya ingin Bagas meneriaki Davina perempuan gila. Bagaimana tidak, Davina langsung menjulukinya sebagai tabung gas LPG dipertemuan kedua mereka.




Satu Cup Ice Cream Ditempat Yang Berbeda (End)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora