Beberapa kali Davina mengecek ponselnya namun nontif yang ditunggu justru tak muncul. Davina  memasukan ponselnya lagi kedalam loker, lalu kembali bekerja.

Sejak kemarin Bagas tak bisa dihubungi oleh Davina. WhatsApp nya memang aktif tapi pesan Davina tak kunjung dibalas. Untuk mengalihkan pikirannya Davina membuat dirinya sesibuk mungkin.

"Vin, lu udah ganti sif kan?" tanya Mila yang melihat Davina sedang membantu Winda mencuci piring.

"Iya, makannya, gw bantuin mbak Winda."

"Udah Vin, kamu udah bantuin mbak dari tadi. Kamu pulang, Vin. Istirahat. Makasih ya, mbak udah dibantuin." Winda.

"Mmm, yaudah deh, aku siap-siap pulang ya mbak. Mil, gw balik ya." ucap Davina lalu meninggalkan Mila dan Winda.

Davina membuka lokernya, mengambil tas dan ponselnya. Kembali Davina lihat sederet notifikasi yang masuk dalam pesan teks, tapi tak ada pesan yang justru ditunggu olehnya.

***

Sesampainya di kos Davina langsung merebahkan tubuhnya.

"Huft... Cape banget hari ini, padahal pelanggan gak rame banget." Davina bermonolog.

Tanpa membersihkan diri terlebih dahulu matanya sudah terpejam.

***

Cahaya mentari menyapa semesta dengan sangat cerah. Beberapa orang bahkan sudah berangkat bekerja lebih awal. Sedangkan Davina? Ia masih tertidur.

"Astaghfirullah... Jam berapa ini?" Davina terkejut saat mendapati dirinya baru bangun sedangkan cahaya matahari sudah mulai naik.

Dilihatnya ponsel. Teryata ponselnya lowbat. Pantas saja alarm yang dipasangnya tidak berbunyi. Davina bergegas menuju kamar mandi, dengan kecepatan elang ia bisa rapi hanya dalam waktu lima belas menit.

Tanpa sedikit make up, serta bibir pucat Davina segera turun kebawah dengan tergesa-gesa. Dengan batre ponsel yang terisi hanya empat persen Davina memesan ojek online karena jika ia memaksa untuk naik busway, ia tidak mempunyai cukup waktu.

Lima menit menunggu tibalah Bagas.

"Da-davina!"

"Hah? Bagas? Kamu kemana aja?"

"Mbak, tadi pesen ojek kan?" Bagas.

Davina melongo. Mengapa Bagas bersikap seperti itu? Ah, dia tidak mengecek siapa driver yang akan menjemputnya. Jika ia tahu itu adalah Bagas ia akan mempersiapkan diri terlebih dahulu. Setidaknya ia akan menggunakan lipstik atau parfum.

Davina naik, tapi ia tak melingkarkan tangannya pada pinggang Bagas seperti biasa. Karena dari awal Bagas seakan memperlakukannya sebagai seorang customer bukan Davina yang ia kenal begitu dekat.

Tak ada percakapan. Tak ada kata 'Hah!' yang biasanya tercipta diantara mereka. Keduanya hanya diam.

"Makasih, mas...." Davina menyerahkan dua lembar uang kertas pada Bagas dan, lagi rasanya aneh.

"Sebentar, kembaliannya mbak." Bagas menghentikan langkah kaki Davina.

Mendengar ucapan Bagas Davina membalikkan punggungnya, "Ambil aja."

Davina masuk kedalam.
Saat ia sedang menaruh tas di loker, ia tak ingin rasa penasarannya terus menyelimutinya. Davina segera mengirimi Bagas pesan teks.

Davina: Are u okay?

Davina mengira mungkin sikap Bagas yang berubah itu karena ada sesuatu yang tidak beres. Hingga perlakuannya pagi ini sangat berbeda.

"Positif thinking, Vin. Mungkin Bagas lagi punya masalah, jadi sekarang lu mending jangan banyak nanya dulu, huhfff." Davina mencoba meyakinkan dirinya.

***

Malam ini, Davina merasa jika dirinya harus bercerita pada Lily prihal sikap Bagas pagi tadi. Meski awalnya ia tak ingin bercerita, tapi kali ini, ia menurunkan ego nya. Ia merasa harus meminta pendapat sahabatnya itu.

"Gitu, Ly... Jadi menurut kamu, dia kenapa ya?"

"Ya, asumsi kamu gak salah sih, tapi gak menutup kemungkinan kalo itu salah juga. Kamu nggak nanya sama dia? Kaya kemana aja dia selama tiga hari terakhir? Atau, gimana hari nya, kaya yang biasa kamu lakuin ke aku." Lily.

"Buat sekarang aku gak berani nanya soal hari-hari dia. Ngeliat ekspresi dia yang datar aja aku jadi mikir dua kali buat sekedar nanya, udah makan atau belum." Davina.

"Emang beneran selama tiga hari setelah kalian main itu dia langsung berubah gitu? Menurutku aneh sih. Kenapa tiba-tiba. Coba kamu liat dua hari kedepan." Saran Lily.

Lily sebenarnya bingung harus bagaimana menanggapi pertanyaan dari sahabatnya, tapi jika ia diam itu mungkin akan membuat sahabatnya beranggapan jika ia tidak peduli, padahal bukan demikian.

"Ly, aku mau cerita kejadian di restoran tadi. Mau dengar?"

Flashback on

Ketika Davina baru bergabung dengan Mila dan yang lain, ia merasa tidak enak hati, disaat semua sudah rapi ia baru datang. Dia bahkan telat satu jam dari jam kerjanya. Semua orang diam, seakan tidak memperdulikan dirinya. Davina berdiri didekat Ervan, hanya Ervan yang terlihat ramah saat ini.

"Maaf, semuanya. Davina telat datang." Ucapan Davina bagai angin lewat, tidak ada satupun orang yang merespon.

"Lu tumben kesiangan?" Ervan setengah berbisik.

"Mmm, anu, gw bangunnya telat, hehe...." percayalah, itu tawa palsu untuk membalut rasa canggungnya.

Ervan mengangguk. Karena restoran masih sepi mereka masih diperbolehkan untuk sibuk dengan ponselnya masing-masing dengan catatan Bu Rena tidak ada.

Mila melirik Winda, Winda melirik kearah yang lain. Semua orang saling lirik, terkecuali Davina yang masih berdiri dipojokan tepat dibelakang Ervan.

"Hahaha... Astaga, Vin. Muka lu melas amat, udah ah woy, kasian anak orang." sahut salah satu diantara mereka.

"Iya, ya.. haha gw gak kuat liat Davina yang biasanya nyerocos jadi kaya kanebo kering begitu, kaku bener...." Winda menimpali.

Davina mengerjapkan matanya beberapa kali.

"Maaf ya, kita sebenarnya ngerjain lu. Gakpapa kok lu telat, yang penting jangan diulangin lagi. Dan yang paling utama...." Mila.

"Jangan pas ada Bu Rena...." jawab mereka serempak.

Davina tertawa, ia terlalu fokus pada Bagas. Hingga lupa jika teman-temannya memang terkadang somplak dan jahil anti-mainstream.

"Ah... Ka Ervan... liat deh, kekerasan ini. Gak terima Davina, siapa yang punya ide ini?" kata Davina meminta pembelaan.

Mereka semakin tertawa saat melihat target merengek.

"Bukan kekerasan, Vin. Tapi kelembekan." Ervan.

Mereka kembali tertawa, teryata Ervan sama saja somplak.

"Lu kira adonan, nek!"

Satu yang Davina syukuri, teryata ia masih dikelilingi oleh orang-orang baik.

Flashback off

"Jadi, kamu dikerjain sama mereka?" Lily memastikan.

"Iya. Dan plot twistnya teryata itu ide nya Ka Ervan tau."

"Yah, pantes dia bilang 'kelembekan' haha...."

"Yaudah, kamu istirahat besti... Aku mulai ngantuk soalnya." Davina.

"Oke... Papay...."

Dan sambungan telepon pun diakhiri.

Sebelum Davina mengajak matanya berkompromi untuk beristirahat, ia melihat pembaruan status terlebih dahulu.

Davina memecingkan matanya pada status yang dibuat oleh Bagas sepuluh menit yang lalu.

Davina kembali menghubungi Lily.

"Lily.... Hiks, huwaaaa...."

"Davina, kamu kenapa? Kenapa kok tiba-tiba nangis?!"


Satu Cup Ice Cream Ditempat Yang Berbeda (End)Where stories live. Discover now