Hampir satu bulan Davina tak mendengar soal Bagas. Tapi mengapa laki-laki itu kembali mengirimi ia pesan? Bukankah laki-laki itu sudah membiarkan dirinya? Bukankah laki-laki itu sedang merayakan cintanya yang dulu ini kembali? Lalu, kenapa ia sekarang mengirimi pesan seperti itu?

Melihat perubahan ekspresi Davina, Aradea kebingungan.

"Vin, lu kenapa?"

"Hah? Kenapa gw? Gw biasa aja? Hehe...."

"Nggak. Tadi soalnya lu lagi ngakak bareng gw tiba-tiba muka lu langsung datar, kan aneh." Aradea.

Davina tersenyum tipis, "Nggak, serius deh. Ayo, lanjut opening, liat tuh semua peralatan belum beres, belum bikin laporan stok."

Alih-alih tidak menghiraukan pesan Bagas, Davina mencoba untuk membuat dirinya sibuk. Setelah semua peralatan rapih, Davina segera membuat laporan stok, padahal hari ini jadwal Ara untuk membuat laporan stok, Ara yakin jika Davina sedang mengalihkan pikirannya, tapi ia pikir untuk membiarkannya terlebih dahulu.

Selesai dengan membuat laporan, Davina membuang sampah, merapihkan stok, membersihkan chiler dan freezer. Hingga akhirnya ia tak tahu harus membereskan apa lagi.

"Udah, Vin. Semuanya udah beres. Sekarang lu minum dulu." Ara menyodorkan air dingin.

Davina meraihnya, lalu duduk disamping Ara. Ia kembali membuka ponselnya, dilihatnya pesan Bagas, dan Davina memutuskan untuk membalasnya.

Davina: Memang, kamu masih peduli dengan saya? Bagaimana dengan kamu, apakah kamu ingin bertemu saya?

Setelah membalas pesan itu, Davina menghapusnya. Jika tidak, ia akan merasa risih, karena setiap huruf yang dikirim oleh Bagas itu kembali mengingatkan rasa sakit itu. Davina ingin pulih dari rasa itu, ia bahkan tak akan melibatkan orang baru dalam prosesnya.

"Lu, kenapa? Hmm...."

"Vin, gw emang baru kenal, lu. Tapi gw suka cerita kan sama lu, bahkan soal gw yang suka cewek, tapi suka cowok juga, soal emak bapak gw yang beda agama, sampe sekarang gw masih bingung mau ikut agama siapa, lu tau semua itu. Jadi, kalo seandainya lu mau cerita, cerita aja, Vin. Selagi gw bisa bantu, gw bantu." kata Ara panjang lebar.

"Bener nih lu mau bantu gw," Davina menatap Ara sungguh.

Aradea mengangguk dengan mantap.

"Mmm, pinjem dulu seratus, Ra...."

Aradea lantas mentoyor kepala Davina. Jangan kaget, walaupun pertemanan mereka baru berjalan beberapa Minggu, tapi hal seperti itu sudah menjadi hal wajar bagi keduanya.

"Ara... Kan kata lu gw boleh cerita, dan lu mau bantu gw." Davina merengek.

"Eh anak setan, lu kan tau, kemaren aja gw gojek dibayarin sama om Wildan, terus gw makan di Lawson pake gopay yang diisiin sama Tante Rere kemaren."

Yap, selain Aradea menyukai laki-laki dan perempuan, ia juga aktif menjadi simpanan para om-om berduit, juga tante-tante girang. Hal itu juga yang menjadi keuntungan bagi Davina, karena ketika Ara mendapat serangan Pajar dari para om-om atau tante-tante, Davina akan terciprat satu cup pop mie atau makanan. Meski seperti itu, tingkah laku Aradea masih laki-laki, walau terkadang sikapnya terselip seperti perempuan, misalnya bergosip.

"Haha, eh btw... Ada om-om yang normal gak? Gw mau jadi ani-ani nya, tapi gw cuma buka jasa nemenin nonton, terus makan, abis itu pulang."

"Yah, gak punya om-om yang normal gw, semuanya gak normal, pada suka sama cowok, makannya gw jadi simpanan mereka, huawaaa...." tawa Aradea pecah, tawanya mirip seperti tawa Mak lampir pada film legenda-legenda yang tempo hari tayang pada channel MNCTV.

Satu Cup Ice Cream Ditempat Yang Berbeda (End)Where stories live. Discover now