10

10 6 0
                                    

Davina tengah bersiap berangkat kerja. Setelah selesai merapihkan kerudungnya ia mengecek jam pada ponselnya. Pagi ini Bagas sudah berjanji akan mengantarnya bekerja maka dari itu Davina merasa dirinya harus sedikit berbeda dari biasanya. Davina turun, ia memutuskan untuk menunggu Bagas diluar gerbang kos.

Sudah sepuluh menit Davina berdiri didepan gerbang, tapi Bagas tak datang juga. Padahal mereka sudah membuat janji jam delapan tiga puluh Davina harus sudah ada di restoran. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh lima puluh lima menit tapi Bagas belum tampak juga.

Davina sedikit was was, ia tidak boleh telat. Sekarang semuanya bergantung pada Bagas.

Davina membuka aplikasi WhatsApp, membuka kolom obrolan Bagas. Ketika Davina hendak mengirimi teks pesan status Bagas sedang mengetik.

Bagas: Vin, maaf sebelumnya. Kayanya aku gak bisa anter kamu. Sepupu aku datang dari Sumatra, dia minta jemput di pelabuhan. Sekarang aku lagi dijalan mau ke pelabuhan.

Davina sedikit kecewa saat membaca pesan Bagas. Ia sudah lebih rapi dari biasanya, ia juga sudah membelikan Bagas sarapan yang tadinya akan ia berikan sebagai ucapan terima kasih. Tapi Davina tidak boleh egois, toh sepupu Bagas lebih penting saat ini.

Dengan senyum yang dipaksakan Davina membalas pesan Bagas.

Davina: Oalah, yaudah gakpapa. Titip salam sama sepupu kamu ya:)

Setelah membalas pesan Bagas Davina bergegas berjalan menuju halte busway. Mood nya menjadi kurang baik saat ini. Ah, memang seharusnya Davina tidak bereskpetasi setinggi itu untuk diantar Bagas.

Ini bukan pertama kali Bagas membatalkan janji untuk mengantar Davina berangkat. Tapi terkadang sebagai tanda permintaan maaf Bagas akan menjemput Davina saat pulang bekerja tanpa memberitahu terlebih dahulu.

***

Di dalam busway.

Lily: Pagi, beb! Semangat ya kerjanya.

Lily mengirimi Davina pesan.

Davina: Lily (disertai emoticon menangis)

Lily: kenapa ceunah?

Davina: bad mood.

Lily: Bagas ya?
       Kalo emang soal dia aku angkat tangan, Vin.                     Aku udah ngebilangin kamu. Kalo seandainya emang dia nyakitin jauhin, sebelum semuanya makin larut.

Davina: Kenapa kamu ngetik gitu sih ly?

Lily: Bukan aku gak ngedukung kamu, tapi aku kasian sama kamu. Selama empat bulan kamu Deket sama dia. Kamu jadi lebih melow. Lebih banyak sakitnya tau gak dari yang aku denger bukan bahagianya.
Mulai dari waktu kamu liat chat Aura yang kirimin dia emot love, terus dia yang ngebales chat Aura pas lagi jalan sama kamu, sampe akhirnya dia speak up kalo Aura itu mantannya.

Lily membahasnya secara menyeluruh, Lily hanya tak ingin jika sahabatnya menjadi tidak ceria, bahkan sakit hanya karena seorang laki-laki yang tidak tau sebenarnya mencintai Davina atau tidak.
Davina menelan salivahnya. Dia juga bingung kenapa bisa dia sebegitunya pada Bagas.

Davina: Tapi, kali ini dia gak salah. Kan dari awal dia emang gak salah, ly. Dia pernah ingetin aku kalo dia trauma. Toh sekarang dia mau jemput sepupunya.

Lily: Terus kamu percaya kalo dia jemput sepupunya? Gimana kalo seandainya dia justru jemput Aura? Aku punya felling yang gak enak soal dia.

Davina: lyli... (disertai emoticon menangis)

Lily tak membalas lagi pesan Davina, mungkin Lily juga bingung harus bagaimana.

***

Sesampainya di restoran Davina buru-buru absen. Untung saja dia tidak telat, padahal dijalan tadi ia terjebak macet. Kali ini Dewi Fortuna sedang berpihak padanya.

"Davina kamu tumben datangnya mepet jam masuk." Gita.

"Ah iya mbak, tadi macet pas di busway."

"Oh.. yaudah yuk kita mulai beres-beres opening."

Davina mengangguk.

***

Jam makan siang telah tiba, restoran mulai ramai pengunjung, semua orang sibuk. Davina mengantar makanan kesana kemari, orang dapur yang sedang melakukan bagiannya, seperti chef yang memasak berbagai menu, lalu bagian cuci piring yang sedang bercengkrama dengan air, spons serta setumpuk piring.

Brak!

Seseorang menggebrak meja. Davina yang baru saja selesai mengantar pesanan lantas melihat apa ang terjadi. Teryata disana ada Mila, rekan seusianya.

"Kamu bisa kerja gak?" laki-laki membentak Mila.

Mila tertunduk.

"Sekarang kamu lihat, makanannya berantakan. Seharusnya kalo kamu gak bisa bawa pesanan itu kamu oper sama orang pelayan lain." Lagi, laki-lakinitu membentak Mila.

Davina yang awalnya hanya ingin melihat akhirnya merasa jika dia tidak boleh diam saja.

"Permisi, maaf pak, ada apa ya?" Davina.

"Lihat, makanan saya berantakan, baju istri saya kotor karena ulah teman kamu yang gak becus!"

"Pak, maaf sebelumnya, kita selesaikan ini secara baik-baik saya bisa panggilkan manager saya. Bapak tidak perlu menunjuk-nunjuk teman saya, atau membentak dia didepan umum seperti ini."  Davina mencoba meredam kemarahan laki-laki itu dengan berbicara dan disertai dengan senyuman meski hatinya merasa dongkol.

"Tapi dia salah!"

"Tapi bapak bisa berbicara dengan nada yang lebih lembut, tidak perlu membentak dia. Saya tau bapak punya uang, tapi bukan berarti bapak bisa semena-mena, teman saya juga punya hati pak." Nada Davina meninggikan nada bicaranya.

Perdebatan mereka menjadi tontonan, bahkan orang-orang dapur keluar untuk melihat apa yang terjadi.

"Aarrghhh!"

Sebuah tamparan mendarat pada pipi Davina. Tapi menurut Davina sakitnya tidak seberapa dengan apa yang dialami Mila.

Melihat itu, orang-orang berteriak. Para pelayan laki-laki yang sedari tadi hanya menonton akhirnya melerai Davina dan laki-laki tadi.

Davina hanya tersenyum tipis kala melihat laki-laki yang menamparnya.





Satu Cup Ice Cream Ditempat Yang Berbeda (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang