05

12 6 0
                                    


Sekarang disamping berkerja, Davina juga tampak lebih sering membuka ponselnya. Davina kini memiliki kesibukan lain, yaitu membalas pesan Bagas. Tak jarang ia tersenyum sendiri saat berjalan di trotoar saat membalas pesan Bagas.

Tak jarang, Bagas terkadang menawarkan diri untuk menjemput atau mengantarkan Davina pulang. Namun, Davina yang tak mau merepotkan selalu menolak tawaran tersebut.

Hingga pada satu hari,

Bagas: Davina, lu kan kalo gw tawarin jemputan pasti nolak, gimana kalo kita jalan aja, lu off kerja kan hari ini?

Davina: Mmm malem ini?, yaudah mau jam berapa?

Bagas: oke. Gw tunggu didepan kos lu ya, jam 20.00

Davina melihat jam, teryata menuju jam delapan itu dua jam lagi, segera Davina mandi. Setelah selesai mandi, Davina yang masih memakai handuk sedikit kebingungan hendak memakai baju apa. Selama ini ia tak pernah membeli baju, karena hampir full seharian beraktivitas ia memakai seragam restoran.
Setelah melihat baju apa saja yang ia miliki, akhirnya Davina mengambil baju lengan panjang garis garis hitam dan putih, lalu dipadukan dengan celana jeans kulot. Entahlah mungkin ini bukan outfit yang bagus, namun itu juga bukanlah hal yang buruk.

"Gw kan mau jalan nih, masa muka gw polosan banget." Davina bermonolog.

Davina yang terbilang asing dengan make up lagi, merasa sedikit bingung. Ia juga tak memiliki alat make up selengkap itu, selama ini ia hanya memakai pelembab sasetan, serta liptin.

"Ah udahlah, ngapain pusing-pusing. Gw pake aja apa yang ada." Davina.

Davina sudah rapi. Jam menunjukkan pukul tujuh lima puluh. Davina tak ingin jika Bagas menunggu lama, akhirnya i memilih untuk turun terlebih dahulu dan menunggu Bagas didepan gerbang kos nya.

Berbarengan dengan itu, Bagas tiba. Davina seketika sadar, jika Bagas teryata memiliki wajah yang cukup tampan.

Baik Bagas maupun Davina sama-sama terdiam saat mereka melihat satu sama lain. Bagas yang biasa melihat Davina memakai seragam restoran malam ini terlihat berbeda.

"Mmm, mau jalan sekarang." Bagas memecah keheningan diantaranya.

Davina tersenyum dan mengangguk. Jantung Davina berdetak lebih cepat, pipinya bahkan terasa panas, untuk memastikan Davina memegang pipinya sendiri.

"Normal, tapi kok rasanya panas banget ya." Davina membatin.

Selama beberapa menit perjalanan masih tak ada percakapan diantara keduanya.

"Jadi, kita mau kemana?" lagi, Bagas membuka percakapan.

"Bebas, gw mah ikut aja."

"Kalo gitu, gimana kalo kita check in."

Davina terkejut, spontan ia menepuk pundak Bagas.

"Gila lu," Davina.

Bagas terbahak, dugaan Bagas benar, Davina pasti akan bereaksi seperti itu. Segera Bagas menepikan motornya.

"Vin, gw juga gak bakal ngajak lu kesana. Gw juga tau batasan kali, tapi lain kali gw ajak lu kesana."

"Lu mau gw jitak!"

"Kita duduk disini aja gimana Vin, istirahat bentar baru kita lanjut. Noh di sebrang ada tukang bakso sama mie ayam, lu mau gak?"

Karena ini kali pertama Davina keluar dengan laki-laki selama delapan belas tahun hidupnya, Davina menurut saja. Ia juga tak enak jika harus memilih atau meminta.

"Bebas,"

"Dari tadi, setiap gw tanya ku jawabnya bebas bebas mulu. Lu pikirin dulu mau makan yang mana, baru nanti kita kesana, sekarang duduk dulu disitu ya." ucap Bagas sembari menunjuk sebuah kursi panjang yang cukup untuk tiga orang.

Davina mengikuti Bagas. Davina memandang sekeliling, ini adalah tempat baru untuknya. Bagas tersenyum, ia gemas sendiri melihat Davina.

"Bocil." gumam Bagas namun masih terdengar oleh Davina.

"Iya, sipaling kolo-- ice cream! Abanggg..." Ketika hendak membalas ucapan Bagas tak sengaja tukang ice cream keliling melintas didepannya.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Davina meninggalkan Bagas untuk mengejar tukang ice cream tadi. Bagas kembali tertawa kecil melihat tingkah Davina.

"Teryata gini rasanya jalan sama bocil."

"Abang, mau dua ya. Yang satu buat saya, satu lagi buat tabung gas LPG."

Vina, walaupun lu pesen dua atau lima sekali pun. Abangnya gak bakal nanya itu ice cream sebanyak itu buat siapa. (Author)

Setelah membayar Davina kembali. Bagas yang melihat Davina terlihat lebih berseri-seri kembali tertawa kecil.

"Nih, buat lu tabung gas. Gw mah pengertian."

Bukannya mengambil cup ice cream yang Davina berikan, Bagas justru mengacak-acak jilbab Davina. Davina kesal, ia akhirnya meletakkan ice cream nya ditempat duduk lalu bersiap untuk mengomel.

"Jangan marah marah Mulu, cepet tua loh." Bagas mendahului Davina berbicara.

Davina mengalah, akhirnya ia kembali duduk. Disaat itu, tak sengaja cup ice cream milik Davina tersenggol dan tumpah.

"Yah, ice cream gw!"

Bagas segera menyuruh Davina untuk berdiri. Davina tidak diam saja ia segera membereskannya dengan tisu.

"Celana lu kena ice cream, ya? Maaf ya. Besok bawa aja ke kosan gw, nanti gw cuci."

"Gakpapa, Vin. Slow, cuma dikit kok."

"Banyak itu."

"Kan itu ice cream lu tumpah, ice cream gw buat lu aja." Bagas.

"Nggak, itu punya lu. Gw beli dua buat lu satu."

"Bocil batu. Kalo gitu, kita barengan aja."

Bagas menyuapi Davina ice cream nya.

"Tunggu, kita satu sendok nih?" Davina baru menyadari ketika ice cream nya justru hampir habis.

"Iyaa..." Bagas.

"Huwaa, air liur gw udah gak perawan. Ini gara-gara terkontaminasi sama air liur lu."

"Gakpapa sih, toh ludah gw manis. Lu belum tau aja."

"Ihs, nyebelin lu."

Satu Cup Ice Cream Ditempat Yang Berbeda (End)Место, где живут истории. Откройте их для себя