13

8 5 0
                                    

Sudah satu Minggu ini Davina sangat mengurangi interaksinya dengan Bagas. Davina hanya sesekali mengirimi Bagas pesan agar hati-hati saat berkendara.

Davina: Hati-hati (disertai emot daun maple)

Bagas juga demikian, dirinya hanya membalas pesan Davina secara singkat. Davina memutuskan untuk menyerah meski ia harus menangis saat mengingat Bagas.
Terkadang pada malam hari, Davina memandangi foto dirinya dan Bagas yang tengah tersenyum bahagia, rasanya baru kemarin itu terjadi, mengapa saat ini justru sudah berbeda.

Sifat Davina yang ceria tersingkir untuk saat ini, ia lebih banyak diam. Selama bekerja ia akan bersikap profesional, tetap tersenyum pada pelanggan namun saat jam kerjanya sudah usai ia akan kembali menjadi Davina yang tertutup oleh kabut hitam kesedihan. Davina pun tak banyak memegang ponselnya, ia hanya membalas pesan yang sekiranya penting saja.

Ervan merasa bersalah karena secara tidak langsung perubahan sikap Davina itu karena dirinya. Terkadang Ervan menawarkan diri untuk mengantar Davina pulang namun Davina selalu menolak ajakan Ervan.

"Vin, buat kali ini biarin gw nganter lu balik. Udah tiga kali lu nolak ajakan gw, masa lu tolak lagi tawaran gw sekarang." ujar Ervan saat berpapasan dengan Davina di loker.

Davina sedikit menimbang ucapan Ervan, ia rasa omongan Ervan benar, tidak ada salahnya ia menerima tawaran Ervan kali ini.

"Hmm, yaudah deh. Gw ikut. Tapi kan arah kos lu gak searah sama lu kak?"

"Gakpapa, sekalian gw mau ajak lu main juga Vin."

"Weh, kemana? Boleh deh, hehe." Davina menyengir.

Ervan tersenyum melihat ekspresi Davina. Ekspresi yang menurutnya lucu. Rasanya ingin Ervan memilikinya.

Astaga Ervan, apa sih yang lu pikirin. Batin Ervan.

Davina menikmati perjalanannya, ia melihat deretan bangunan bangunan yang menjulang tinggi. Meski sering Davina lewati, namun keindahannya tidak pernah membuat Davina bosan. Dari kaca spion Ervan tersenyum kala melihat pantulan seorang gadis dibelakangnya.

Namun sedikit berbeda kali ini, Davina tidak memberikan pelukan pada Ervan karena menurutnya itu tidak perlu dilakukannya.

Ervan menepikan motornya pada sebuah kursi panjang yang tak jauh dari mereka. Tempat yang sepertinya tidak asing bagi Davina namun dimana ini? Tapi Davina yakin jika ia pernah ketempat ini sebelumnya.

"Tunggu sini bentar ya, Vin." ucap Ervan lalu meninggalkan Davina.

Davina mengangguk.
Sambil menunggu Ervan yang entah kemana, Davina melirik sekeliling hingga matanya memecing kala melihat sebuah tulisan yang jaraknya sekitar sepuluh meter dari tempatnya duduk. Tulisan itu masih cukup jelas untuk dibaca, Davina membacanya.

"Tanjung duren."

Davina sedikit tersentak saat membaca tulisan itu. Pantas dirinya merasa tidak asing dengan tempat itu. Davina mengedarkan pandangannya teryata tak jauh dari tempat dirinya duduk adalah tempat pertama kali dirinya first date dengan Bagas. Disana, ice cream Davina tumpah. Disana juga Davina bertanya prihal Aura. Rasa sakit yang Bagas berikan seakan kembali tertumpah secara sekaligus. Mata Davina berkaca-kaca kala mengingat saat manis dan sakit secara berbarengan.

"Maaf lama, Vin. Gw tad-- lu kenapa?" Ervan kaget saat melihat air mata Davina terurai.

Menyadari jika air matanya telah luruh buru-buru Davina menghapusnya.

"Nggak kak, tadi gw kelilipan. Hehe."

"Nggak, lu nangis Vin. Lu mau pulang? Atau mau apa? Ayok gw turutin."

Davina menatap Ervan, laki-laki itu membujuknya agar kembali berseri. Bahkan direstoran kerap kali Ervan membuat lelucon saat melihat Davina melamun agar Davina tertawa.

"Haha, nggak kak. Lu dari mana?" tanya Davina mencoba mengalihkan fokus Ervan.

Ervan menghembuskan nafasnya berat. Lalu tersenyum.

"Ini, tadi gw beli jajan. Gw gak tau jajanan apa yang lu suka. Jadi gw beli beberapa macem, hehe."

"Buset kak, banyak banget astaga..."

"Dikit ini. Gw yakin kita bakal abisin ini semua."

Ervan kemudian duduk, membuka bungkusan yang ia bawa. Ada bihun gulung, cilok ikan, cilok ayam, cilung, martabak mini, ice cream juga es teh manis.

Mata Davina berbinar saat Ervan menjejerkan satu persatu apa yang ia bawa. Mood yang tadinya buruk menjadi naik seketika. Mata Davina berhenti menatap semua jajanan yang dibawa oleh Ervan saat ia melihat ice cream.

"Kak, gw boleh makan ice cream nya nggak?"

"Haha..." Ervan tertawa saat mendengar Davina meminta ijin untuk memakan ice cream yang ia bawa, "Kan gw bilang, lu makan aja. Astaga ijin segala."

Davina menyengir, lantas mengambil kedua ice itu, ia membuka keduanya. Satu ice cream rasa vanila dan satu ice cream rasa coklat. Davina memberikan rasa coklat pada Ervan, dan memakan ice cream rasa vanila.

"Buat lu aja Vin." Ervan.

"Ya kali gw makan ice cream sampe dua, jajanan masih banyak yang mesti masuk kedalem perut gw kak, haha..."

Ervan mengambilnya lantas menikmati ice cream bersama Davina.

"Lu suka banget sama yang manis manis ya?"

"Gak terlalu, tapi gw suka bgt sama ice cream, susu, yang rasa vanila."

"Oh..."

Menyebut vanila, Davina kembali mengingat Bagas. Davina segera menepis semuanya, ia tak ingin jika Ervan kembali melihat dirinya berkaca-kaca harus alasan apa lagi dirinya nanti.

Setelah keduanya memakan ice cream berlanjut pada cilung, cilok ayam, cilok ikan, martabak mini, dan ditutup oleh es teh manis.

Ervan tertawa saat melihat wajah Davina. Segera ia mengambil tisu di dashboard motornya. Ervan mengelap pipi Davina sembari tertawa. Bagaimana bisa pipi Davina terkena coklat, mungkin jika sudut bibirnya terkena sisa coklat yang berasal dari martabat mini Ervan memakluminya.

"Anjir, tuh coklat jauh banget loncatnya." ujar Ervan setelah selesai mengelap pipi Davina.

Davina tertawa. Memang ucapan Ervan benar. Bisa-bisanya coklat menempel pada pipi nya.

"Dasar!" Ervan.

Melihat ekspresi Davina yang kembali tertawa lepas membuat batin Ervan tersenyum. Setidaknya malam ini ia melihat Davina tertawa lepas sebelum besok ia kembali ke restoran dengan tawa yang sebenarnya dipaksakan.

"Vin, lu tau gak apa yang lebih manis dari ice cream yang tadi kita makan?" Ervan bertanya.

"Senyuman gw!" jawab Davina dengan sangat pede nya.

Ervan diam, teryata Davina tidak bisa diajak berkompromi.

"Ah, gak asik lu Vin. Kan maksud gw tuh mau ngegombal." Timpal Ervan.

Si empu hanya terbahak melihat ekspresi kesal Ervan. Meski merasa sedikit kesal Ervan justru merasa senang saat Davina melempar tawa.

"Yaudah, ulang-ulang."

"Gak. Ngambek gw. Udah gak mood."

"Dih, jangan ngambek kak, nanti manisnya ilang."

Ah, Davina tidak sadar jika ucapannya bisa saja  membuat Ervan merasa baper.
Keduanya larut dalam tawa dan saling melempar jokes. Hingga tak terasa sebentar lagi menunjukkan pukul dua belas malam. Saat melihat Davina menguap Ervan baru menyadari jika ini waktunya mereka pulang.





Btw ini bab terpanjang huhu!!
Terima kasih untuk my bestie sebagai pembaca cerita ini, huhu...

Satu Cup Ice Cream Ditempat Yang Berbeda (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang