07

13 6 0
                                    

Setelah Bagas tahu alasan Davina menangis saat dipeluk olehnya, ia semakin berempati pada Davina. Siapa sangka Davina yang terlihat ceria menyimpan sebuah rasa sakit yang begitu mendalam.

Davina tak mengerti bagaimana arti sebuah pelukan, Davina tak mengerti apa yang dimaksud dengan kata "Ayah". Tentu, saat ia merasa sebuah pelukan dari orang asing sedikit membuatnya terkejut, namun Bagas yang memeluknya dengan penuh kasih sayang membuat pelukan yang nyaman bagi Davina. Davina yang menyimpan semuanya sendiri tak terbiasa bercerita, tapi Bagas, mengubah Davina seratus delapan puluh derajat dari sikapnya biasa menutupi. Hanya didepan Bagas Davina bisa bercerita apapun, hanya didepan Bagas Davina akan mengeluarkan sifat manjanya. Semua sifat yang berbanding terbalik itu, justru hanya bisa ia tunjukkan didepan Bagas.

Ya, Davina merasa nyaman bersama Bagas, Davina merasa aman didekat Bagas. Dan secara tidak sadar, Davina mulai mencintai Bagas, Davina diam-diam menaruh sebuah harap pada Bagas.

Semakin hari semakin banyak waktu yang mereka habiskan. Walaupun keduanya memiliki kesibukan namun sebisa mungkin keduanya memberi kabar.

"Lu mau ketempat kita first date gak?" Bagas bertanya pada Davina yang sedari tadi anteng menyandarkan dagunya pada bahu Bagas.

"Mmm, boleh deh." Davina.

"Oke sayang, kita gass..." Bagas.

Davina terkekeh karena memanggil Davina dengan panggilan "Sayang" bagi Davina panggilan itu asing.

Bagas mengajak Davina sepulang bekerja, karena besok ia memiliki jadwal bersama komunitas motornya. Tapi, malam ini juga Bagas ingin bermain bersama Davina.

"Manja banget sih, lu Vin." tidak ada angin maupun hujan, Bagas tiba-tiba berkata demikian.

"Oh, menurut kamu, aku manja?"

"Dih, sejak kapan aku kamu."

"Sejak.. tadi, hehe."

"Tapi gw gak setuju, soalnya w maunya dipanggil sayang."

Davina tersenyum, rasa kesalnya terurung begitu saja. Karena ucapan Bagas tadi, pipi Davina terasa panas, sekarang pipinya sudah seperti kepiting rebus. Davina yang tak ingin Bagas mengetahui soal itu segera memalingkang wajahnya. Tangannya yang melingkar pada pinggang Bagas, ia lepaskan.

"Sesuai aplikasi, ya mbak." sindir Bagas.

"Loh, jadi kamu ngajak aku main gak ikhlas nih?"

"Sesuai aplikasi, ya mbak!" nada bicara Bagas sedikit meninggi.

"Ya udah kalo gitu, kita puter arah, langsung anterin saya pulang, ya mas!" Davina.

"Lagian, kan kita lagi jalan, kamu buka penumpang aku yang pesen ojek online. Eh kamu gak meluk. Huh! Gak peka."

Davina kembali terkekeh, tak ada habisnya Bagas membuat Davina spot jantung. Davina rasa jika lama-lama seperti ini ia akan gila karena gombalan Bagas lain dari yang lain.

Akhirnya Davina kembali melingkarkan tangannya pada pinggang Bagas. Tampak jelas jika sudut bibir Bagas mengangkat.

***

Mereka sampai, pada sebuah taman. Sepi, memang. Karena jam sudah menunjukkan pukul 23:56. Taman "Tanjung Duren" , ya itu tempatnya. Tempat pertama kali keduanya bermain, ditempat ini, cup ice cream milik Davina tumpah. Teryata moment itu sudah lewat tiga bulan lalu.

"Mau, starlink gak?"

"Hah? Starlink?"

"Noh!"

Mulut Davina ber-oh ria.

Sebuah sepeda dengan keranjang berisi termos air panas serta berbagai macam kopi, es, serta susu dijajahkan dalam satu tempat yang sama.

"Boleh. Tapi aku mau susu putih, ya."

Bagas mengacungkan kedua jempolnya sembari melangkahkan kaki menuju abang-abang starlink.

Davina memperhatikan lekat punggung Bagas yang sedikit menjauh. Iagi, ia hanya bisa tersenyum, senyum Davina langsung pudar saat melihat notifikasi pada layar ponsel Bagas.

"Aura"

Davina terdiam, mana mungkin jika "Aura" itu seorang laki-laki, sudah pasti jika itu perempuan.

"Davina..." Bagas datang dengan dua gelas susu hangat yang masih mengepul.

Bagas duduk tepat disamping Davina. Ia mengeluarkan sebatang rokok serta korek gas.

"Aku mau tanya, Aura itu siapa?"

Bagas yang tengah mematik korek gas hendak merokok menoleh dengan mimik wajah yang terlihat sedikit panik.

"Ou---oh, dia itu temen aku. Preman dia." jawab Bagas sesanti mungkin.

"Tapi kenapa dia manggilnya'aku-kamu' ya?"

"Ya, emang harus gimana?"

"Dia chat kamu, dia nanya 'besok jadi apa enggak?' ya wajar dong aku nanya."

"Dia anak komunitas, Vin. Lagian, aku udah pernah bilang sama kamu, aku gak punya hubungan sama orang lain. Aku masih trauma, Vin. Kamu tahu gimana cerita aku sama orang terakhir yang ngejalin hubungan sama aku." Bagas menjelaskan.

"Sekarang gini, kalo dia punya hubungan sama aku, ngapain aku disini sama kamu, hah?" sambung Bagas.

Davina tak menjawab, semua ucapan Bagas itu benar. Dan prihal hubungan Bagas sebelumnya, Davina tahu akan hal itu.

"Terakhir gw pacaran, sama mantan gw yang dulu suka nongkrong direstoran lu. Itu lama, kita pacaran tiga tahun, tapi tiga tahun itu seakan gak berarti buat dia. Dia main sama cowok lain dibelakang gw, dan sekarang gw trauma. Susah buat orang lain bisa dobrak pintu hati gw."

"Lu jangan jatuh cinta sama gw ya, Vin." Ucap Bagas tempo hari.

Dan, dari situ, Davina sebenarnya berfikir, apa mungkin sulit juga bagi Davina untuk bisa menjalin hubungan dengan Bagas? Namun, untuk saat ini Davina memilih diam. Dan memendam perasaannya. Dari pada harus merusak sebuah kebersamaannya dengan Bagas.

"Kita pulang aja, ya." walau Davina sudah mendapatkan penjelasan dari Bagas, hati Davina tak bisa bohong. Hatinya merasa sakit, ia cemburu.

Satu Cup Ice Cream Ditempat Yang Berbeda (End)حيث تعيش القصص. اكتشف الآن