Sandiwara

27.9K 381 33
                                    

PESONA PAMAN SENO | Sandiwara

Rindu menatap langit-langit kamarnya dengan pandangan menerawang. Pikirannya berkelana mengingat apa yang baru saja dia lakukan bersama Seno beberapa waktu lalu.

Masih teringat jelas di benaknya ketika pria itu menyentuh setiap jengkal tubuhnya dengan sentuhan panas nan memabukkan. Membuat dirinya yang baru pertama kali ini merasakan hal tersebut menjadi tidak berdaya. Hingga akhirnya begitu pasrah diombang-ambing oleh gelora yang membara.

Jantungnya kembali berdebar mengingat perlakuan manis Seno setelah kegiatan mereka selesai. Pria itu dengan penuh perhatian memperbaiki kondisinya. Yang lemas karena pelepasan dahsyat yang menjadi hal baru bagi dia rasakan.

Rindu pikir setelah Seno mendapatkan apa yang dia mau, pria itu akan langsung pergi meninggalkannya. Namun nyatanya Seno tetap tinggal, dan membersihkan tubuhnya dari rasa lengket yang membuatnya tidak nyaman.

Kini ketika hari semakin beranjak malam dan hanya sunyi yang menemani, Rindu masih terjaga dengan manik beningnya yang masih terbuka lebar. Wajah cantiknya dihiasi semburat merah di kedua pipinya. Dengan lengkungan bibir membentuk sebuah senyuman manis tanpa dia sadari.

Namun ingatan manis itu harus berakhir ketika sekelebat bayangan kedua orang tuanya yang meninggal secara mengenaskan di dalam mobil yang ringsek. Dengan darah yang bercucuran dimana-mana, membuat senyuman gadis itu seketika luntur. Terganti dengan wajah merah padam dan sorot matanya yang menajam. Dengan air mata yang kembali membasahi kedua pipinya untuk kesekian kalinya.

"Aku tidak akan tinggal diam, Bibi. Aku akan membalas rasa sakit yang Ayah dan Bunda rasakan karena ulahmu." kata Rindu yang kembali dilanda rasa dendam.

Gadis itu lantas bangkit dari ranjangnya yang nyaman. Memungut beberapa helai pakaian yang tadi sempat Seno lepaskan. Dan meletakkannya di keranjang baju kotor.

Dengan langkah gontai dia masuk ke dalam kamar mandi. Membasuh tubuhnya dengan air dingin yang membuat tubuhnya sedikit berjengit saking dinginnya. Lalu keluar dari ruangan sempit itu dalam keadaan yang lebih segar.

Masih dengan keadaannya yang setengah polos dengan handuk yang menutupi sebagian dada dan pahanya, Rindu berdiri di depan cermin yang melekat dengan lemari kayu miliknya. Menatap pantulan dirinya yang tampak kacau. Dengan mata memerah karena terlalu lama menangis.

Jika boleh jujur, Rindu sebenarnya merasa lelah dengan sandiwara ini. Dia lelah berpura-pura kuat padahal sebenarnya dia sangat rapuh. Terlihat baik-baik saja padahal aslinya hancur.

Tapi egonya yang lain mengatakan untuk tidak memperlihatkan kelemahan itu pada semua orang. Dia tidak ingin dikasihani, dia juga tidak ingin dianggap lemah. Sehingga dia berusaha sekuat tenaga untuk tetap kuat berdiri dengan kakinya sendiri.

Dan kini ketika semuanya terasa mudah baginya, dia kembali mengingat akan kedua orang tuanya. Kenangan manis mereka semasa hidup yang membuat Rindu tidak dapat menahan tangisnya. Dan akhirnya kembali menangis, bersedih untuk kesekian kalinya.

"Sampai kapan sandiwara ini akan berlangsung?" tanya Rindu pada dirinya sendiri.

Gadis itu menatap lurus pantulan dirinya dengan ekspresi datar. Senyum mengejek hadir di wajahnya kala mengingat apa saja yang dia lakukan untuk membalaskan dendamnya pada sang Bibi.

"Kamu biarkan tubuh kamu dijamah oleh pria itu. Kamu benar-benar menjijikkan." maki Rindu pada dirinya.

Rindu memeluk tubuhnya yang tiba-tiba gemetar. Mengingat apa saja yang telah Seno lakukan pada dirinya. Bagaimana dia begitu pasrah saat tangan pria itu bergerilya kemana-mana. Hati mungkin bisa menolak, tapi raganya tidak bisa berbohong jika dia juga menikmati sentuhan itu.

"Aku benar-benar menyedihkan, Rindu." Rindu kembali memaki dirinya.

Air matanya kembali menumpuk di pelupuk mata. Dan tak membutuhkan waktu yang lama untuk meluncur membasahi kedua pipinya. Lagi-lagi pipinya kembali basah, menangisi nasibnya juga dosa yang telah dia perbuat bersama Seno.

|•|

Tak seperti biasanya, pagi ini Rindu terlambat bangun dan tak sempat menyiapkan sarapan. Sehingga Hanum terpaksa membuat menu sarapan ala kadarnya untuk sang suami.

"Maaf Rindu terlambat bangun." ujar Rindu begitu melihat sepasang suami istri itu sudah berada di ruang makan.

Seno hanya menimpalinya dengan anggukan kecil. Sedangkan Hanum tampak menatapnya dengan pandangan kesal. Bagaimana tidak kesal jika dia harus kembali berkeringat di dapur padahal dirinya sudah rapi hendak pergi.

"Kamu bagaimana sih, Rin? Jam segini baru bangun." omel Hanum terang-terangan.

Netra Rindu memicing mendengar omelan dari bibinya. Enak saja wanita itu memarahinya seperti itu. Padahal baru kali ini Rindu bangun kesiangan setelah sekian lama.

"Bibi jadi harus mandi lagi karena berkeringat. Padahal Bibi mau ada acara di luar." kata wanita itu dengan bibir mencebik.

Wajah Rindu merah padam karena kesal. Ingin sekali dia menimpali ucapan Hanum. Tapi lagi-lagi dia harus bersandiwara di depan mereka.

"Lagi-lagi kamu menyalahkan Rindu. Semua ini tanggung jawab kamu, Hanum. Sekali lagi kamu menyalahkan Rindu, aku tidak akan segan memarahi kamu." ujar Seno tegas.

Tidak hanya Rindu, Seno juga merasa kesal pada istrinya itu. Dia selalu menyalahkan Rindu atas apa yang bukan menjadi tanggung jawabnya. Dan sebenarnya Seno memarahi Hanum bukan semata ingin membela Rindu yang sekarang telah menjadi kekasih gelapnya. Melainkan dia ingin agar Hanum tahu apa tanggung jawabnya sebagai seorang istri.

Hanum yang kembali mendapat kemarahan dari sang suami seketika membisu. Wajahnya memerah dengan mata berkaca-kaca. Hatinya lagi-lagi terluka oleh sikap Seno yang dirasa terlalu memihak pada Rindu. Tapi dia memilih untuk bungkam dan menyuarakan protesnya.

"Sudah, Paman. Jangan marahi Bibi lagi. Di sini memang Rindu yang salah karena terlambat bangun." ujar Rindu yang tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk menarik simpati Seno.

Mendengar keponakannya membela dirinya, Hanum tentu merasa diperhatikan. Dengan percaya diri dia beranggapan bahwa Rindu tengah memihak padanya. Padahal nyatanya gadis itu sedang mencari muka untuk dirinya sendiri.

"Kamu jangan membela Bibimu, Rin. Lama-lama dia akan terus bersikap seenaknya saja jika kamu membelanya." timpal Seno yang membuat Rindu membungkam.

Suasana di dalam ruang makan kembali tegang seperti waktu itu. Dan lagi-lagi permasalahan yang sama yang membuat suami istri itu bertengkar.

Seno masih menatap lurus ke arah Hanum yang menunduk. Sedangkan Rindu diam-diam menarik sudut bibirnya membentuk senyum miring. Sandiwara yang dia buat ternyata berhasil membuat Seno dan Hanum kembali berselisih. Dan tentu saja di merasa senang akan hal itu. Semakin sering terjadi perselisihan di antara mereka, semakin mudah bagi Rindu untuk memisahkan mereka.



Tbc.
_________
Satu kata yang cocok buat Rindu??
But, jangan pake kata² kasar ya guys

Pesona Paman SenoWhere stories live. Discover now