Allena menyeruput minumannya hingga habis tak bersisa lalu ia menyandarkan punggungnya pada kursi. "Kenyaaang. Ternyata restoran ini gak banyak berubah ya. Makin rame juga." Matanya menyisir ruangan.
"Pesenan lo masih sama. Rasanya masih sama?" tanya Bhanu setelah melihat ada dua piring di hadapannya yang kini sudah licin.
Allena tersenyum lebar. "Masih, tapi kayaknya malah makin enak. Lo inget gak, waktu dulu, karena kita sering ke sini jadi punya niat bikin restoran bareng juga?" tanya Allena dengan mata berbinar.
"Iya, padahal urusan bisnis sama masak, kita berdua gak bisa," tawa Bhanu membuat matanya menyipit. Ponsel Bhanu berdering menginterupsi kegiatan nostalgia mereka, ia pun meminta izin pada Allena untuk mengangkat telepon kemudian beranjak dari tempatnya.
Pandangan Allena mengikuti arah perginya punggung lebar kepunyaan Bhanu. Dulu, jika ada telepon seperti itu, Bhanu hanya akan menjawabnya di tempat. Berbeda dengan barusan, ia memberikan jarak dengan Allena seolah mengingatkan bahwa mereka sudah tidak lagi bersama dan mempunyai privasi masing-masing.
Allena tersenyum, seolah ia sedang memaklumi keadaan mereka sekarang. Sebenarnya, bisa saja ia pergi dari restoran favorit mereka dulu, sekarang juga. Bahkan, sebelumnya pun ia bisa menolak ajakan Bhanu atau kalau mau pun ia tidak akan menemui Bhanu di lantai atas restoran tempat reuninya dua hari yang lalu. Bukannya ia tidak bisa, tentu saja bisa, tapi sebagian dirinya seperti ingin melakukan banyak hal bersama Bhanu.
Walaupun, ia yakin, semua yang ia lakukan hari Kamis ini adalah salah.
YOU ARE READING
One Fine Day
Short StoryTakdir memang selalu saja bisa mempermainkan manusia. Siapa sangka akan bertemu lagi dengan orang yang pernah singgah di masa lalu setelah 5 tahun tidak pernah bertemu, bahkan bertukar sapa? Sebuah permohonan terlintas sejenak dalam benak; "Pada ha...