Part 4

8.6K 558 7
                                    

Mereka sampai, Arkan turun dan tak lupa membawa belanjaan sang istri. Lain halnya dengan Ayna, gadis berkerudung ungu itu masih setia di kursi mobil. Tidak ada niat beranjak atau melakukan hal lain.

Arkan menghentikan langkah, berbalik dengan alis terangkat. Bingung, ada apa lagi dengan makhluk berjenis perempuan itu?

"Na, ayo turun!"

Ayna mengerjap bebek kali, ia melengos ke arah kaca. Menatap wajah datar Arkan membuat hatinya tak karuan.

"Bentar, gak sabar banget mau ngusir," imbuh Ayna.

"Nih, bocah. Mau ngusir kamu siapa, hem? Kamu, nih. Sejak semalem ngelantur mulu bicaranya, dewasa dikit napa, Na. Kita itu mau pindah ke rumah baru, biar bisa hidup mandiri layaknya suami istri pada umumnya."

Arkan mengusap wajah kasar, menjelaskan secara rinci kepada Ayna mungkin butuh banyak waktu agar gadis itu sadar.

"Iya, entar Ayna belajar bersikap dewasa. Entar, kapan-kapan. Lagian, kalau emang Om Arkan gak suka, ya udah putus aja."

"Putus, putus. Kamu kira kita lagi pacaran? Sembarangan aja kalau ngomong. Ayo, ah, masuk. Di luar banyak setan, entar kamu digodain."

Ayna melangkah mendekati suaminya, setelah berada di hadapan lelaki itu. Ia kemudian berjinjit agar wajahnya dan wajah Arkan bisa sejajar. Kedua netra Ayna menyipit, memperhatikan setiap lekukan ciptaan Tuhan itu.

Tampan.

"Iya, ya, banyak setan. Salah satunya Om Arkan."

Usai berkata, lekas-lekas Ayna memasang kuda-kuda dan berlari masuk ke rumah. Takut, kalau-kalau Arkan akan berbuat sesuatu yang tidak diinginkan.

"Istri rasa anak, nakalnya kebangetan. Minta diruqyah kali dia," gumam Arkan seraya geleng-geleng, mencoba membuang pikiran anehnya.

• • •

"Alhamdulillah, akhirnya pake gamis juga." Ya, saat ke butik tadi, dirinya masih mengenakan trening hitam dan kaus berlengan panjang semalam.

Kini, Ayna berputar-putar memperhatikan penampilannya di depan cermin, gamis berwarna biru tua dipadukan dengam pasmina hitam. Tanpa disadari, Arkan sedang bersandar di ambang pintu sambil menyaksikan tingkah istrinya.

Sesekali lelaki itu tersenyum hingga akhirnya ia berdeham dan membuat Ayna mematung di tempat. Arkan mendekat, lalu memegang kedua bahu gadisnya.

"Kalau pake gamis, kami kayak wanita, deh."

"Huh? Wanita? Ayna emang wanita, Om, bukan makhluk jadi-jadian."

"Enggak gitu, Sayang. Wanita itu orang yang sikap dan pikirannya udah mateng, tidak akan bertindak sesuka hati sebelum memikirkan akibatnya, bukan kayak anak kecil. Kalau kamu pake gamis, orang yang melihat pasti gak akan nyangka kalau kamu itu masih sembilan belas tahun."

"Huh, Om Arkan ada-ada aja. Wanita, perempuan, gadis, menurut Ayna sama aja, tuh. Sama-sama punya rambut panjang, mata, bulu mata, hidung, telinga, dan masih banyak."

"Tau ah, Na. Ngobrol ama kamu emang gak pernah nyambung. Kayak bicara ama anak TK."

"Dih, kalau gak nyambung, ya, disambungin dong."

Arkan melepaskan pegangnya, lalu mengangkat tangan setinggi bahu, menyerah. Sementara Ayna terkekeh geli, entah kenapa dirinya suka sekali berdebat masalah yang sama sekali tidak berguna dengan suaminya.

"Maaf, Om. Ayna cuma becanda."

Ayna berbalik dan menatap Arkan, ia kemudian mengangkat dua jarinya hingga membentuk huruf V.

• • •

"Kita pamit dulu, Mi. Kapan-kapan Arkan akan ke sini, kok. Umi baik-baik di rumah, jangan mikirin yang aneh-aneh. Entar sakit," pesan Arkan.

Ibunya hanya tersenyum dan mengangguk. Pasangan itu lalu masuk ke mobil dan melaju dengan kecepatan sedang. Sebelumnya, Arkan telah meminta Ayna untuk tidur.

Pasalnya siang-siang begini pasti jalanan akan macet, ditambah jarak rumah baru mereka yang agak jauh sehingga membutuhkan kurang lebih dua jam untuk sampai.

"Tidur, Na."

"Gak ada bantal, Om, entar kepala Ayna sakit."

Ia cemberut. Alhasil, Arkan merentangkan tangan kirinya agar bisa menjadi bantal untuk Ayna, sedang tangan kanannya fokus menyetir. Kecepatan mobil pun sedikit dikurangi.

_ TBC _

Ada yang pengen ngucapin sesuatu tentang part ini? 🤣🤣

Menikahi Gadis Polos [Completed]Where stories live. Discover now