Part 25

3.4K 175 4
                                    

"Na, makan yang banyak. Biar dedeknya cepet besar," ujar Arkan sambil menyuapi Ayna buah yang ia potong-potong tadi.

"Iya, Papa," sahut Ayna menirukan suara anak kecil.

Sontak, Arkan terkekeh lalu mengelus perut sang istri yang sudah membesar. Ya, delapan bulan telah berlalu. Waktu menunggu terasa sangat lambat buat pasangan itu. Bagaimana tidak, ini adalah untuk pertama kalinya mereka akan menjadi orang tua.

Segala persiapan telah siap sejak jauh-jauh hari. Bahkan, kamar dan segala perlengkapan bayi sudah memenuhi satu ruangan dan semua itu adalah inisiatif dari calon papa muda.

"Ciee, yang bakalan jadi ayah. Nempel mulu kayak perangko aja," seloroh Askaf yang baru saja datang bersama Nisa dan putra mereka yang berusia satu tahun.

Ya, Arkan sudah keduluan oleh Askaf. Makanya itu ia tidak sabar menanti kelahiran anak pertamanya dan membalas perlakuan Askaf tempo hari yang selalu mengejeknya.

"Sirik aja, lagian kalo iri, tuh, bilang," balas Arkan.

Ah, Arkan ini. Semenjak Ayna mengandung, tiba-tiba sikapnya berubah 180 derajat dari yang berwibawa menjadi gesrek dan segala sesuatunya direcehin.

"Aduh, Pak. Ngapain saya iri? Wong saya udah nggak jomlo, kok." Askaf lalu duduk di sofa, diikuti Nisa.

Ya, sekarang kedua pasangan suami istri itu sedang di ruang tamu. Menikmati waktu sore sambil bersantai ria.

Ayna menyikut lengan suaminya agar berhenti menggoda ayah satu anak itu. Arkan yang mendapat teguran langsung menyengir.

"O ya, Mbak Nisa ama Mas Askaf mau minum apa? Biar Na buatin," ucap Ayna seraya berniat bangkit dari duduknya dengan hati-hati.

"Eh, nggak usah, Na. Kita ke sini cuma bentar. Lagian, kamu nggak usah repot-repot. Entar kelelahan, lho," balas Nisa cepat, karena ia paham bagaimana perasaan istri dari Bos suaminya itu.

"Iya, nggak papa. Kami ke sini cuma mai nganter ini," timpal Askaf, lantas menyodorkan sebuah kotak dengan ukuran yang lumayan besar.

"Apa ini?"

Arkan dengan semangat empat lima menerima pemberian pasutri tersebut, tanpa aba-aba langsung membukanya. Benar-benar tidak tahu malu.

"Wih, hadiah buat dedek," ujar Ayna melihat baju serta beberapa pakaian anak kecil yang Arkan keluarkan dari dalam kotak.

"Ini hadiah dari kami, Pak," ungkap Askaf dibarengi senyuman manis.

"Nggak usah repot-repotlah, Kaf. Tapi, makasih, ya." Arkan pun membalas senyuman sekretarisnya itu.

• • •

"Mas, Mas Arkan," lirih Ayna sambil memegangi perutnya yang terasa sakit, ia pun turun ke lantai dasar.

Wajah cantiknya kini dibanjiri peluh dan tampak pucat. Beberapa kali ia terlihat meringis sembari meremas kuat gamis yang dikenakan.

Rasa sakit tidak bisa lagi ditahan. Akhirnya, Ayna jatuh terduduk di anak tangga. Dari kaus kakinya tampak ada cairan kental keluar dari balik gamis. Melihat itu, Ayna mulai menangis. Ketubannya pecah.

"Mas," panggilnya lagi.

Ayna melupakan kalau Arkan sedang ke masjid sekarang untuk menunaikan salat isya. Mana di rumah tidak ada siapa pun, bahkan ponsel ia lupa bawa dan sekarang entah ada di mana benda pipih itu.

Lima belas menit kemudian ....

"Assalamu ... astagfirullah, Ayna!" pekik Arkan saat mendapati istrinya yang setengah sadar berada di depan tangga dengan keadaan yang memprihatinkan.

Tanpa aba-aba, lelaki yang masih menggunakan kopiah dan baju koko itu langsung mengangkat tubuh istrinya dan membawanya masuk ke mobil. Bergegas ke rumah sakit dengan harapan tidak ada sesuatu yang buruk terjadi.

• • •

Kondisi lalu lintas yang sedikit padat membuat Arkan berkali-kali mengumpat. Berbeda dengan Ayna, wanita itu tak hentinya beristigfar sambil mengusap perutnya, berharap rasa sakit itu berkurang.

"Tenang, Sayang, ya. Bentar lagi kita sampai, kok."

"Mas ... sakit," lirih Ayna.

Arkan semakin khawatir tingkat akut. Perlahan, Ayna mulai kehilangan kesadarannya.

"Ya Allah, selamatkan istri dan ... calon anakku."

Arkan berdoa, sambil menyetir hingga tak terasa bulir bening meluncur bebas di pipinya.

Dua puluh menit berlalu, akhirnya mereka sampai di rumah sakit. Arkan bergegas membuka pintu mobil dan mengeluarkan istrinya.

"Tolong, Dok!" teriak Arkan.

Selang lima detik, seorang perawat membawa brankar. Lekas-lekas Arkan menidurkan Ayna dan benda itu segera di dorong ke ruang UGD.

Arkan ingin ikut masuk, tetapi suster langsung menghalanginya.

"Maaf, Pak. Anda silahkan tunggu di luar dan biarkan kami bekerja," kata suster itu.

"Tapi, istri saya ...."

Belum selesai lelaki itu berbicara, pintu sudah tertutup. Arkan mengusap wajahnya kasar, lalu merogoh saku bajunya dan menghubungi seluruh keluarga.

T b c

Adoh, ikut deg-degan aku, tuh nulis ini. Soalnya, soalnya ... aku pun baru pertama kali buat adegan ibu-ibu hamil. Ya Allah 😑 keknya, aku gak bisa berkata-kata lagi.

Nunggu komen ajalah.

Betewe, mungkin satu part lagi END

😳😳😆

Menikahi Gadis Polos [Completed]Where stories live. Discover now