[28] Arkan yang menyebalkan

27.5K 2.5K 60
                                    

Amara terbangun dengan nafas ngos-ngosan seperti habis lari maraton. Menatap ke sisi kirinya dia tak mendapati kehadiran Arkan disana, kemana lagi lelaki itu. Amara mengusap keringat sebesar biji jagung di dahinya, memikirkan mimpi itu membuat Amara seperti dikejar waktu. Waktunya tak lama lagi disini, itulah yang Amara pahami dari mimpi itu.

"Lima hari lagi Tuhan, setelah itu apapun yang engkau kehendaki aku menerimanya dengan lapang dada" Mohon Amara, dirinya membutuhkan waktu sekitar lima hari lagi sampai ulang tahun Anta digelar. Setelah itu dia akan pasrah pada apa yang terjadi.

Pintu kamar mandi terbuka menampakkan Arkan yang keluar dari sana lalu tatapan keduanya mulai beradu. Dapat Arkan lihat ada sirat ketakutan dari iris mata itu, dengan segera dia menghampiri Amara yang sepertinya baru saja bermimpi buruk Sampai terjaga di tengah malam.

"Kenapa? Mimpi buruk?" Tanya Arkan duduk disamping Amara lalu mengusap surai panjang itu dengan lembut.

Masih dengan tatapan ketakutan Amara menggeleng lalu menatap Arkan "iya, tapi nggak papa kok" Balas Amara tersenyum.

"Yaudah tidur lagi gih" Arkan membaringkan tubuh Amara lalu menjadikan tangannya sebagai bantalan agar Amara mudah memeluknya.

Hangat dan nyaman itulah yang Amara rasakan saat berada dalam pelukan Arkan. Pelukan yang selama ini dia inginkan dari sosok Arkan yang kini menjadi suaminya. Tolong izinkan Amara untuk merasakan pelukan ini sebentar saja, jangan dulu membawanya pulang.

Dengan lembut Arkan mengusap surai panjang istrinya lalu turun sampai ke punggung. Dapat dia rasakan punggung Amara sedikit bergetar, apa gadisnya itu tengah menagis? Jika iya dia akan membiarkannya sampai Amara benar-benar membaik. Karena sebagian orang untuk mengurangi rasa sesak atau masalah yang dihadapinya dengan cara menangis.

"Shuuut, kalau mau nangis, nangis aja nggak usah ditahan" Ucap Arkan yang membuka suara isakan dari Amara mulai terdengar.

"Saya tidak tahu masalah apa yang tengah kamu hadapi, tapi jangan bikin saya khawatir dengan itu semua. Saya tidak suka melihat kamu menangis seperti ini"

"Kalau memang perlu cerita sama saya" Tambahnya.

Isakan masih tetap terdengar hingga cukup lama deruan nafas teratur mulai terdengar yang menandakan jika Amara sudah terlelap dalam tidurnya. Arkan melihat wajah merah Amara karena menangis ditambah hidungnya juga terlihat memerah. Menyelipkan anak rambut yang menghalangi penglihatan ke belakang telinga lalu mencubit pelan hidung merah itu.

"Kamu itu cantik dan saya suka, entah masalah apa yang kamu hadapin sampai membuat kamu harus menangis seperti ini dan kenapa juga kamu tak menceritakannya pada saya. Siapa tahu dengan itu saya dapat meringankan beban kamu"

Satu kecupan mendarat dikening Amara diikuti kedua pipi dan yang terakhir di bibir itupun cuma sebentar lalu Arkan melepasnya. Jika Amara tahu mungkin dia sudah jingkrak-jingkrak tidak jelas sangking senangnya.

•••••

Nana menatap bingung majikannya yang pagi-pagi begini sudah berada di dapur. Bukannya tugas dapur adalah pekerjaannya dan kenapa sekarng jadi tuannya yang memasak.

"Tuan biar saya saja yang membuat sarapan, sebaiknya tuan duduk saja" Ucap Nana dengan nada setengah takut.

"Tidak apa Nana, saya ingin membuat sarapan sendiri untuk istri saya" Ucap Arkan tanpa melihat kearah Nana yang kini berada tak jauh darinya.

Sekarang Nana tau kenapa tuanya pagi-pagi sudah berada di dapur. Rupanya tengah berniat membuat sarapan untuk nyonya, jarang sekali momen ini terjadi atau malah bisa dibilang sangat langka untuk terjadi.

Istri Mas Duda  [End]Where stories live. Discover now