Winda - Unusual Traitor

80 11 18
                                    

"Sekretaris Edwin, kamu dihukum karena sudah berkhianat!"

Laki-laki di hadapanku tampak garang melipat lengan. Yang lain juga sama. Mereka menatapku dengan mata berkilat. Beberapa di antaranya bahkan tidak ragu mengacungkan senjata.

Aku hanya dapat terduduk setelah didorong sampai terjatuh.

Apa yang harus kulakukan? Percuma melawan, jumlah mereka lebih banyak. Itu juga akan menjadi alasan mereka semakin mencurigaiku.

Kukepalkan tangan erat. "Ini salah paham! Akan kujelaskan." Namun, pembelaanku tidak berpengaruh. Bukannya memberi kesempatan, mereka justru semakin murka.

"Tidak ada yang perlu dijelaskan." Sekejap kemudian, aku sudah diringkus dua orang kru kapal. "Lempar dia! Biarkan dia dimakan hiu."

Napasku tercekat. Namun semakin melawan, malah nyeri yang kudapat. Seakan lenganku akan putus.

Mereka lekas melaksanakan perintah. Dua orang itu terus menyeretku. Tubuhku pun mereka lemparkan begitu saja ke permukaan laut.

Laut?

Ya, setidaknya menurut kami, siswa kelas dua SD yang bermain sepulang sekolah, alih-alih mengerjakan PR.

Padahal itu hanyalah lapangan berumput. Kemudian "kapal" adalah kotak kardus yang dibentangkan, dan "senjata" ialah ranting kayu yang kami pungut di jalan.

Aku terjerembap. Beruntung di antara rumput setinggi mata kaki itu tidak ada kerikil tajam. "Aduh, pelan-pelan, dong. Sakit tau!"

Kedua temanku hanya menyeringai. Entah apa maksudnya. Yang jelas, mereka tampak tidak berniat meminta maaf.

Aku membuang napas. Mereka semua sepertinya terlalu menghayati.

"Hei, kok Edwin kalian gituin?!" Terdengar seruan nyaring dari kejauhan. Seorang anak berbando kuning mendekat.

"Winda?"

Dia berkacak pinggang di depanku. Aku tidak bisa melihatnya. Tapi kalau mendengar ucapan barusan, sepertinya dia sedang jengkel. "Kalian kenapa, sih? Kan Bu Guru bilang, kita nggak boleh berantem."

Sayang sekali dia salah paham. Padahal, posenya sudah persis seperti sosok pahlawan pembela kaum tertindas.

"Kita nggak berantem, kok," sanggah salah satu temanku.

"Oh, ya?" Winda membalas dengan nada yang lebih tinggi.

Aku menepuk bahunya. "Kita emang nggak berantem, Win. Cuma lagi main jadi bajak laut," jelasku dengan senyum lebar.

Kemarahan Winda langsung mereda. Ia menatapku dengan mulut terbuka. "Eh, gitu ya?" gumamnya seraya mengalihkan pandangan. Dia malu, sepertinya.

Salah satu anak perempuan di atas kapal mendekat. "Mau ikut main, nggak?"

Seketika, wajah Winda kembali cerah. "Wah, mau. Boleh, ya?" Dia menarik tanganku antusias, melompat ke atas kapal.

*

Ah, waktu berlalu tanpa terasa, ya.

Memori kesenangan itu serta-merta berputar ketika jalan setapak membawaku ke sana. Sembilan tahun, banyak hal yang berubah. Pohon yang rantingnya dulu menjadi mainan kami sudah lama ditebang.

Juga tubuhku yang dulu setinggi telinga Winda, sekarang sudah 170 sentimeter.

Perubahan tidak bisa dihindari, ia adalah bagian dari dunia.

Namun, aku tidak pernah menyangka pandanganku terhadap Winda juga akan berubah. Dulu dia hanya teman kecilku. Seorang gadis berbando kuning yang periang, mudah bergaul, dan suka menolong.

Namun entah sejak kapan, dia tampak begitu bersinar. Suaranya menenangkan, seperti denting piano yang dimainkannya di aula sekolah.

Aneh sekali, tetapi kata orang cinta itu memang aneh. Yah, apalagi jika perasaan itu tertuju pada Winda. Ketika gadis itu tak ada di sini, seakan-akan sebagian dari hatiku pun telah dibawa pergi.

Aku mendongak, menatap langit yang seakan menyuruhku berhenti berbohong.

Ah, andai aku punya cukup keberanian.

*

14 Desember 2022, 09:05 WITA

_______________

Prompt:
Aku dilempar dari atas kapal.

_____________________

Cerpen ini ditulis untuk kegiatan menulis bulanan di Blackpandora_Club

Among The StardustWhere stories live. Discover now