Neil - Miracle that Come From a Girl

11 1 0
                                    

Ditulis untuk memenuhi kewajiban menulis bulanan dari Blackpandora_Club

______________________________________

Prompt:
Kamu sangat mencintai dirimu. Tapi saat kamu ketemu sama diri kamu yang lain, bagaimana kamu mencintai kamu?
__________________________


Aku benci dunia ini!

Sebagaimana seluruh dunia kompak membenciku, aku berbalik membencinya dengan setara.

Dikhianati oleh mereka yang mengaku kawan, dikurung di menara gelap dan senyap, dipenjara bagaikan monster. Lalu diberi makan sekadar bisa berumur lebih panjang untuk menerima semua sindiran, hinaan, pukulan, dan entah apa lagi yang lebih buruk dari itu. Kenapa? Aku tak mengerti. Begitupun alasan mengapa perang saudara yang sia-sia di luar sana masih dilanjutkan. 

Apa salahku? Entahlah. Iblis pun mana mungkin tahu.

Aku tak terlalu mengerti soal pertengkaran antara Ayah dan Paman, dan orang-orang lain yang setia pada mereka. Aku tak terlalu mengerti, dan tidak terlalu peduli juga. Meski seorang pangeran, aku tak sekalipun merasa mahkota itu seharusnya menjadi milikku setelah Ayah mati. 

Karena itu …, tidak usah sampai memulai perang segala. Ambil saja sesukamu, Paman Sialan! Akan tetapi, kau tidak perlu mengirimku untuk diasingkan seperti ini. Ketahuilah, aku takkan membencimu kalau saja kau tidak membenciku duluan.

“Keparat! Mati saja kau!”

Percuma. Mau berapa kali pun aku memukulnya, dinding tempat ini takkan menyalurkan amarahku kepadanya. Mau berapa kali pun berteriak, apa pun takkan berubah. Baik betis kiriku yang patah, maupun tudingan rakyat yang katanya mencintaiku. Mereka tetap menyalahkanku atas gejolak perebutan kekuasaan di ibu kota – yang aku sendiri tidak begitu pahami.

Kenapa kesialan seluruh dunia ditumpahkan padaku seorang?

Saking senyapnya ruangan ini, tiga ketukan di pintu saja bergema. Untuk sementara, aku memerhatikan dari jauh. Siapa pula itu? Biasanya kalau para penjaga, mereka akan langsung masuk tanpa merasa perlu untuk memberi salam. Lagi pula, mengetuk pun untuk apa? Orang-orang di luar sana punya kuncinya.

Baru saja aku ingin beranjak mengintip dari lubang kunci, derit pintu tua itu mengalahkan sayup-sayup badai guntur dari balik dinding tebal menara. Siluet seorang tinggi kurus mendekat. Jubah hitam pekat menutupi seluruh figur itu, kecuali bibirnya yang melengkung membentuk seringai nakal.

Siapa dia? Bagaimana bisa dia diperbolehkan masuk? Kenapa pakaiannya masih terlihat kering meski di luar sedang badai? Terlalu banyak pertanyaan di dalam kepalaku. Belum sempat satu pertanyaan pun terjawab, dia malah membuatku semakin terjebak dalam kebingungan.

“Oh, pangeran yang malang.” Apa maksudnya dia berucap begitu? Diikuti tawa kering pula. Jika ada orang yang lebih ingin kumusnahkan daripada pamanku, maka itu adalah orang yang menganggap semua derita ini sebagai lelucon.

Tanpa memedulikan bagaimana tatapanku berusaha mengutuknya, lelaki itu melanjutkan dengan suara serak. “Tidakkah Anda ingin tahu siapa yang bertanggung jawab semua kemalangan ini?”

“Apa?” Aku spontan mengernyit.

“Bukan ‘apa?’ Seharusnya ‘siapa?’” Bahkan di sela-sela omong kosongnya dia masih sempat mengoreksiku.

Siapa sebenarnya orang aneh ini? Bisa-bisanya menyeringai santai sambil menyeret masuk barang bawaannya. Setelah menyandarkannya ke dinding, ia membuka kain hitam yang menutupi benda miliknya – cermin tegak yang sudah tampak begitu tua. “Yah kalau penasaran, kenapa Anda tidak lihat sendiri ke dalam cermin ajaib?”

Among The StardustDonde viven las historias. Descúbrelo ahora