Lien - Girl who Dreamed of a Miracle

15 4 4
                                    

Gelap.

Lembab.

Senyap.

Seperti biasa. Dunia kecilku sunyi seperti biasa. Berteman selarik cahaya dari celah dinding, kunyanyikan prosa tentang mimpi-mimpi. Tentang cakrawala di mana sayap-sayap merpati terkembang. Tentang senyum dan canda tawa serta peluk hangat di ruang keluarga. 

Duniaku sempit. Sebatas celah kecil berisi barang-barang tua di menara terbengkalai. Tak pernah kulihat siapa pun. Kecuali pria tinggi berseragam militer yang datang setiap pagi untuk melemparkan sebuah roti hambar, dan satunya lagi yang sesekali masuk hanya untuk melontarkan sumpah serapah dengan napas bau alkohol.

Keajaiban itu apakah benar-benar ada? Jika ya, di mana? Dunia bahagia yang kulihat … apakah itu mimpi, atau memori yang terlampau jauh? Aku tak yakin. Sebab semua terlihat sama saja. Ketika di dalam hanya ada cahaya temaram, di luar hanya ledakan serta bau mesiu yang bisa ditemukan.

Ah, keajaiban itu … apakah benar-benar ada?

“Berisik!” Suara parau itu lagi.

Seluruh tubuhku menegang. Gawat, nyanyianku terlalu nyaring. 

Belum sempat beringsut ke balik tumpukan barang-barang, pintu tinggi dan berat itu terbanting keras. Sepasang mata menatap berang, pria yang kumaksud melangkah lebar-lebar. “Anak terkutuk! Pergi saja ke neraka!” 

Aku mati rasa. Hingga kaki pria itu terangkat, menghempaskanku hingga ke ujung ruangan. Kepalaku menghantam onggokan benda-benda usang lebih dulu. Ngilu. Lenganku tergores pecahan guci porselen tua. Perih.

Gema sepatu itu menjauh. Menyisakan rintihan dan tangisanku di langit-langit. Sakit. Tenggorokanku seperti tercekik seiring dengan jatuhnya air mata.

Keajaiban itu … apakah benar-benar ada?

Aku menyeka mata yang berair. Namun ketika terbuka kembali, sebuah cahaya menyambut. Tidak, bukan dari celah dinding. Melainkan dari cermin tegak di dekatku, yang selama ini tak kusadari ada di sudut ruangan.

Hampir kusangka itu lagi-lagi hanya mimpi. Cahayanya memancar lembut. Saat kucoba mendekat, bukan pantulan wajahku yang muncul. Melainkan sesosok laki-laki dengan rambut pirang sama sepertiku. Matanya sebiru cakrawala di dalam mimpiku, tampak berbinar ketika ia tersenyum lebar.

“Hei! Senang bertemu denganmu,” sapanya riang. Anehnya, meski yang muncul sama sekali bukan wajahku, aku seperti melihat diriku sendiri. Pada senyum lebar itu seperti ada sesuatu yang familiar.

Aku berucap lirih, “Kau siapa? Kenapa bisa ada di situ?”

“Ah, aku Neil. Salam kenal, ya.” Suaranya yang begitu kencang membuatku sedikit cemas. Bagaimana kalau pria tadi masih ada di sekitar sini dan kembali lagi? Namun, sosok laki-laki itu sama sekali tak mengerti kekhawatiranku, sibuk memamerkan deretan gigi depan yang terusun rapi.

“Oh, ya. Tadi kau bertanya soal ‘keajaiban’, kan? Selamat. Kau sangat beruntung. Karena aku akan menunjukkan keajaiban itu padamu,” ujarnya lagi.

Apa maksudnya, entahlah. Namun, baru kuperhatikan laki-laki itu mengenakan baju hitam lengan panjang dilengkapi jubah berwarna gelap. Sungguh pakaian yang tidak biasa. “Kau seorang penyihir?” 

Neil mengangguk-angguk. “Ya! Bisa dibilang begitu.” Padahal kalau dilihat lagi, kepribadiannya terlalu ceria. Sama sekali tidak cocok dengan imaji seorang penyihir. Kupikir mereka seharusnya sedikit lebih misterius daripada ini.

“Oh, kau tidak percaya? Sekarang, sekarang, akan kubuktikan kalau aku tidak main-main soal keajaiban itu.” Neil menempelkan telapak tangan yang sejak tadi tersembunyi di dalam jubah ke permukaan cermin. “Kemarikan tanganmu.” Entah apa tujuannya, tetapi yang jelas ia terdengar begitu percaya diri.

Among The StardustWhere stories live. Discover now