Agnes - Unexpected Reunion

13 5 19
                                    

"Di dunia ini apakah ada seseorang yang kaucintai?"

Mataku sontak terbelalak. Ucapan itu terdengar penuh kelembutan, begitu menenangkan, tetapi anehnya jantungku malah berdebar kencang. Entah siapa pemilik suara serak tersebut. Aku tak bisa melihat sekitar. Kabut putih tebal memenuhi setiap sudut ruang.

Perlahan, kuberanikan diri untuk bergerak. Nyeri seketika terasa menusuk-nusuk betis dari dalam. Aku spontan meringis, menghentikan langkah. Saat itulah aku menyadari dua hal. Kakiku yang tanpa alas selama ini berpijak di atas sesuatu seperti batu karang. Serta suara samar yang sejak tadi terdengar di kejauhan adalah debur ombak.

Apa aku mengenali tempat ini?

Entahlah. Seperti ada sebuah potongan memori yang hilang. Namun, ketika mencoba mencarinya, telingaku berdenging keras hingga membuat pusing.

Dari balik kabut tebal, muncul setitik cahaya yang perlahan mendesakku untuk menutup mata. Itu aneh, tetapi lebih aneh lagi saat cahaya itu menghilang. Pemandangan kembali berganti menjadi area kamarku.

Apa yang sebenarnya terjadi? Aku mengerjap-ngerjap, menoleh ke arah cermin di pintu lemari. Sepertinya aku tertidur dengan kedua lengan terlipat di atas meja belajar. Rambut sudah terikat rapi, begitu juga dengan dasi abu-abu di leher.

Oh, ya! Ini kan hari pertama sekolah. Pukul tiga dini hari tadi aku sudah bangun dan bersiap-siap. Namun, karena jalanan masih gelap, kuputuskan untuk menunggu sambil bermain ponsel. Mungkin karena belum cukup tidur, tanpa sadar aku sudah terlelap kemudian melihat mimpi tidak jelas itu.

Baiklah, sekarang langit sudah cukup terang. Saatnya berangkat.

"Seluruh kota merupakan tempat bermain yang asyik. Oh, senangnya ... aku senang sekali!" Sepeda pemberian Bibi bergerak mulus di atas jalanan kota yang lengang. Sesekali aku mendongak, memandangi burung-burung yang terbang di antara kabel listrik, menularkan semangat baru.

Kira-kira, bagaimana ya sekolah baru nanti? Apakah teman-temanku menyenangkan, ataukah mereka tipikal kutu buku yang tak suka bercanda? Bagaimana dengan guru-gurunya, kegiatan pembelajarannya? Memikirkan semua itu membuat jantungku melompat-lompat.

Ah, aku sudah tidak sabar!

"Matahari menyinari semua perasaan kita. Tapi mengapa hanya aku yang dimara- Aaakh!"

Tiba-tiba saja, roda depan sepeda seperti menabrak sesuatu yang membuat keseimbangannya menghilang. Aku seketika terhempas dengan lutut yang mencapai aspal lebih dahulu.

Sudah jatuh, tertimpa sepeda pula. Hal pertama yang kurasakan adalah ngilu. Telapak tanganku juga terasa perih usai membentur permukaan kasar trotoar. Aku menghela napas panjang. Kalau bangkit dari posisi ini saja tidak bisa, bagaimana aku bisa pergi ke sekolah?

Detik berikutnya, terdengar langkah cepat mendekat. "Hei, kau tidak apa-apa?"

Susah payah kuangkat kepala. Demi mendapati sesosok laki-laki berseragam sama sepertiku. Ekspresi cemas menggantung di wajah yang lebih mirip orang Eropa. Rambut cokelat gelapnya dipotong pendek. Iris yang berwarna biru langit juga seolah mengkonfirmasi bahwa dia bukan keturunan murni pribumi.

"Erick?!"

Eh, sebentar. Siapa Erick? Bagaimana bisa nama itu spontan meluncur dari bibirku?

Aku terpegun, tetapi laki-laki itu tampak lebih kaget lagi. "Tunggu dulu. Bagaimana kau tahu nam- ah, begitu, ya." Entahlah, dia tampaknya tidak suka pada ucapan spontanku. Matanya sempat terheran di awal, langsung menatap datar seketika. Dia mengurungkan pertanyaan, kemudian lekas memindahkan sepedaku ke tempat yang lebih aman.

"Bisa berdiri?"

Kusambut uluran tangan lelaki itu tanpa pikir panjang. "Iya, bis- Uwaaah!"

Lututku bergetar, membuatku kehilangan keseimbangan saat mencoba berdiri. Untungnya, aku tak jatuh di atas aspal lagi. Pemuda asing itu dengan sigap menahanku dengan kedua lengan kokohnya.

Among The StardustWhere stories live. Discover now