Agnes - Distant Dream

3 0 0
                                    

"Di dunia ini, ada seseorang yang aku cintai. Seseorang yang membuatku takkan ragu berkorban. Dan itu kau."

Sudah beberapa malam berlalu, suara yang sama mendatangiku. Suara yang menenangkan, juga mendebarkan di saat yang sama. Membuatku terbangun tiba-tiba di malam hari dengan napas sesak. Mimpi itu memang aneh, tetapi yang lebih aneh adalah aku.

Setiap kali terbangun, entah mengapa, air mataku selalu mengalir.

*

Karena sudah terlalu sering terjadi, aku mencoba mengabaikan ingatan soal mimpi semalam, dan menjalan hari dengan normal. Oh, tetapi hari ini tidak bisa. ada satu hal yang mau tak mau membuat jantungku sedikit berdegup kencang. Yap, apalagi kalau bukan kontes biolaku yang sudah memasuki tahap akhir.

Setelah kemenanganku di kontes yang membuatku dihadiahi Ravel, sekarang aku kembali mengikuti kontes lain yang tidak kalah bergengsi. Di mana di babak sebelumnya, aku berhasil menjadi peserta dengan poin tertinggi.

Oh, iya. Erick harus tahu ini. Siapa tahu aku bisa mendapat 'tiket konser solo' gratisnya lagi. Kali ini Rachmaninoff, mungkin.

Ngomong-ngomong soal cowok itu, aku tidak bisa pura-pura tak sadar. Setiap kali aku menghabiskan waktu dengannya, aku sering sekali mengalami semacam déjà vu. Ya, mungkin normal kalau hanya terjadi beberapa kali. Akan tetapi, kalau sampai aku bisa menebak apa yang ingin dia lakukan berikutnya, apa itu masih bisa dibilang normal?

Yah, sejak awal aku memang sudah merasa dia cukup familiar. Tatapannya, suaranya, gaya bicaranya. Seakan-akan kami sudah berinteraksi dengan intens sebelum masuk SMA yang sama.

Apa kutanyakan secara langsung saja, sambil memberitahu soal jadwal penampilanku.

"Erick, apa kita pernah kenalan sebelumnya? Aku merasa kita pernah ketemu, di satu tempat yang jauh."

Iyap, itu cukup bagus. Tidak terdengar aneh atau mencurigakan.

Aku lekas berjalan menuju kelas sebelah. Kebetulan, dia sedang berada di sana. Bersandar di salah satu pilar, membaca buku yang aku tak bisa lihat judulnya. Namun, langkahku terhenti ketika melihat dari kejauhan orang yang ingin kuajak bicara dihampiri orang lain.

"Er, bukannya kamu baru grade 6, ya?"

Silvia. Bagaimana aku bisa lupa si peringkat satu ini?

Dia seorang violinis sepertiku. Namun, kami adalah dua kutub yang saling berlawanan. Seperti cita rasa daun mint dan kayu manis. Aku bisa selamat dari remedial saja sudah bahagia. Sedangkan Silvia, dengan kemampuan analisis yang luar biasa, dia unggul dalam semua hal. nilainya sempurna hampir di semua pelajaran. Cantik, elegan, perfecto. Entahlah, aku tak tahu lagi kata apa yang bisa menggambarkannya.

"Iya. Terus kenapa?"

"Minggu lalu aku nggak sengaja denger kamu mainin piano sekolah. Pavane For a Dead Princess," ia menanggapi pertanyaan Erick. Intonasinya begitu tenang seperti permukaan air danau.

Tidak, aku sama sekali tidak iri dengan semua keterampilannya. Aku lebih baik menjadi diriku yang sekarang daripada sosok yang membosankan seperti Silvia. Bahkan walaupun hanya bermain biola yang kubisa, aku bisa bersinar.

Aku bisa bersinar!

"Ini kamu mau ngejek atau apa?"

"Nggak. Kuakui interpretasi kamu cukup menarik." Cewek itu menggeleng pelan. "Walaupun temponya lambat, setauku itu bukan piece yang gampang. Iya, kan?"

Erick tampak tersenyum tipis, terkekeh pelan. "Oh, itu yang bakal terjadi kalau kamu udah jatuh cinta duluan. Kamu sendiri pernah belajar Shosty Simfoni 13 kurang dari sebulan, kan."

Among The StardustWhere stories live. Discover now