Dante - Justice for Ella

10 0 0
                                    

“Ngomong-ngomong, kamu pernah dengar soal Cinderella Syndrome?”

Kuturunkan gelas minuman. Iris sebiru langit milik cowok di seberang meja itu terlihat serius. 

Semenjak berkuliah di perguruan tinggi terbaik di ibu kota, selama itulah aku tidak bertemu dengan kedua sahabatku. Karena itu, kami membuat rencana reuni.

Empat tahun sudah berlalu. Untuk Silvia, aku tidak tahu. Mari tunggu sampai motornya selesai diperbaiki untuk lihat sejauh apa dia bertransformasi. Namun, sepertinya tak ada yang benar-benar berubah dari seorang Erick. Dia masih seperti mahasiswa manajemen yang salah jurusan.

Seperti biasa, entah bagaimana obrolannya bisa sampai ke sana. Padahal beberapa menit yang lalu, kami masih mengenang ke-random-an masa SMA. Yah, tetapi begitulah temanku yang satu ini. Keahlian utamanya mengubah topik ringan menjadi pembahasan yang rumit dan mendalam. Pasti sebentar lagi bahasannya berpindah ke kisah hidup Fyodor Dostoyevsky, teori psikoanalisis Sigmund Freud, atatu aliran filsafat eksistensialisme.

Ah, tetapi rasanya tidak enak kalau mengabaikan dia begitu saja.

“Kondisi di mana cewek cenderung bergantung sama cowok, berharap ada sosok ‘pangeran’ yang dateng buat nyelesaiin semua masalahnya?” Aku mencoba membuat diriku tertarik. Meskipun sebenarnya dalam hati aku berteriak, Silvia, cepatlah datang!

“Iya.”

“Jujur, aku kurang suka namanya.”

“Kenapa?”

“Itu bahkan nggak menggambarkan karakter Cinderella.” Aku membuang napas panjang. Yah, ini memang aneh, tetapi mau tak mau dia mengakui aku cukup tertarik untuk menganalisis kisah gadis itu. “Dia nggak pernah berharap masalahnya selesai dengan cara jadi istri pangeran. Bahkan kalo kamu baca lebih teliti, dia pergi ke pesta dansa bukan untuk ketemu pangeran.”

“Aku baru dua tahun terlibat di organisasi amal. Tapi aku sudah banyak liat anak-anak yang mentalnya rusak gara-gara terjebak di keluarga yang abusive. Mereka nggak speak up sampai tim kami nawarin bantuan.” Kuraih minumannya yang tersisa setengah. Tenggorokanku kering gara-gara mencoba mengingat kembali betapa memprihatinkannya wajah anak-anak itu. “Cinderella juga gitu. Jadi, nggak pantas rasanya menyandingkan cewek-cewek manja dengan nama Cinderella. Karena dengan begitu, kita sama aja menyalahkan korban child abuse. Menurut kamu, apa itu cukup etis?”

Erick tidak menanggapi dengan ‘ya’ atau ‘tidak’. Dia terlihat kagum, tersenyum puas. “Ah, emang beda ya kalo ngobrol sama aktivis yang udah berpengalaman. Bahkan topik soal dongeng anak-anak aja kerasa berbobot.”

Aku terkekeh pelan mendengar pujian itu. “Kebetulan aja nyerempet sama bidangku.”

*

Ah, kurasa itulah penyebabnya. Pasti karena ketertarikanku kepada kisah si gadis baik hati yang terkekang di lingkungan keluarga toksik ….

Siapa yang mengira akan ada insiden sepulang dari acara reuni kecil itu. Tubuhku seakan bergerak sendiri menyelamatkan seorang anak SD dari pengemudi motor ugal-ugalan. Ingatanku soal selanjutnya agak kabur. Kalau tidak salah, aku berusaha melindungi anak itu. Sebagai gantinya kepalaku menghantam trotoar.

Apa pun itu, setidaknya anak itu hanya mengalami sedikit syok. Sedangkan di sini, aku harus menghadapi masalahku sendiri.

“Sebaiknya Anda segera bersiap-siap, Yang Mulia.”

Itu dia!

Setelah pandanganku memburam pasca benturan itu, aku tiba-tiba tersadar di mana orang-orang memanggilku dengan sebutan itu. Padahal aku, Andante Justitia, masih berstatus sebagai mahasiswa hukum. Masih sangat panjang perjalananku untuk menjadi seorang hakim.

Among The StardustWhere stories live. Discover now