Anneliese - Another Untold Story

11 1 0
                                    

Ditulis untuk memenuhi kewajiban menulis bilanan dari Blackpandora_Club

____________________________________

Prompt:
Buatlah cerpen berlatar di tahun 1800-an.

_________________________


Cerpen kali ini sedikit berbeda dibanding yang sebelum-sebelumnya karena menyesuaikan dengan prompt.

So, enjoy! 😁

*

"Nona, hari sudah sore. Tuan besar akan marah kalau Anda tidak segera kembali."

Entah seberapa jauh aku tenggelam dalam pikiran sendiri. Ketika kembali tersadar, di hadapanku sudah ada siluet yang tampak begitu familier. Sosok tinggi semampai yang membelakangi cahaya matahari jingga. "Mari pulang, Nona." Senyuman serta suara lembutnya pun masih sama seperti ketika kutemui terakhir kali.

"Edmund?!" Aku sungguh tak percaya, lantas mengamati wajahnya dari dekat. "Ed, itu benar-benar kau?"

Pemuda itu refleks mundur selangkah. "I-iya, Nona. Anda tidak perlu sekaget itu." Ia menyeringai tipis.

Kualihkan pandangan ke tanah seraya menggigit bibir. Ini pasti bohong, kan? Mustahil aku bisa bertemu dengannya di taman yang selalu kukunjungi sejak kecil. Peluang matahari terbit dari selatan bahkan lebih besar daripada melihat Edmund kembali.

Akan tetapi bayangan itu terlalu nyata. Garis rahang yang tegas. Rambut gelap yang disisir rapi ke belakang. Mata berwarna kecokelatan yang tampak lembut tetapi tak pernah berhenti mengawasi sekeliling. Serta lengan kokoh yang siap menebas leher siapa saja yang mengancam nyawaku.

Ini memang benar-benar Edmund, kesatria pelindungku.

Sesuatu di genggaman tangannya berhasil menarik kembali perhatianku. "Untukmu, Nona Anneliese. Tolong jangan beritahu siapa pun, ya," ucap laki-laki itu lirih. Ia tersenyum seraya memberiku isyarat untuk tetap diam dengan telunjuk di depan bibir.

Bunga anyelir yang mekar sempurna. Aroma manisnya membangkitkan jutaan kupu-kupu di dalam perutku. Kuterima dengan ragu-ragu. Sekarang pipiku mungkin sudah semerah kelopaknya. "Ed, a-aku ...." Suaraku bergetar, serak di akhir.

Edmund menanti dengan sabar. Senyum tipisnya malah semakin membuat jantungku melompat-lompat.

"Sebenarnya ...." Tenggorokanku tercekat hingga tak mampu bicara lebih dari itu.

Kenapa aku masih tak bisa mengaku?!

"Anne."

Suara lain terdengar samar-samar memanggilku entah dari mana. Tak hanya sekali, berkali-kali. Meski begitu, tak mampu mengalihkan perhatianku dari Edmund. Kesempatan ini belum tentu ada besok. Aku harus mengatakannya!

"Anne, kau melamun lagi." Suara itu kali ini disertai tepukan di bahu yang menyentakku. Mengembalikanku ke dunia nyata.

Realita di mana Edmund tak akan pernah kutemukan.

"Maaf," gumamku seraya menunduk. Apa yang baru saja kulakukan? Bisa-bisanya aku memikirkan lelaki lain ketika sedang berada di samping suamiku.

Aku mencoba menghindari tatapan datar pria di sebelahku, sekaligus kernyit heran dari orang-orang penting yang ada di sekitar. Tidak bisa. Mereka seakan secara serempak menghakimi kelalaianku.

Among The StardustWhere stories live. Discover now