William - Night at The Library

26 2 0
                                    

Ditulis untuk memenuhi kewajiban nulis bulanan di Blackpandora_Club


____________________________________

Prompt: Tulislah cerita tentang "Terjebak bersama MC favorit," minimal 500 kata.
______________________

Happy reading~ ✨

*

“Aku duluan, ya. Bye.” Betapa kesalnya diriku. Teman yang kukira akan menemani setiap suka dan duka meninggalkanku begitu saja di tempat ini. Seringai lebarnya, disusul tawa jahat menggelegar. Tidak akan kumaafkan!

“Kamu jahat.”

Aku melirik tajam. Namun, seolah-olah memperlihatkan rasa bersalah adalah hal paling susah, dia hanya menatap datar. Sesaat sebelum beranjak pergi, ia mendekati tempat dudukku. Hanya untuk menimpuk dengan sebuah buku tebal.

Dia medengus sebal. “Udah, nggak usah kebanyakan drama. Kerjain tuh tugas statistika.”

Pukulan barusan cukup membuat pandangan berkunang. Membuatku secara spontan meringis sambil mengusap kepala yang terasa nyeri. “Tungguin napa.”

“Nggak. Diskonnya cuma sampai hari ini. Ogah banget nunggu makhluk deadliner kek kamu kelar nugas,” ujarnya ringan. Yah, padahal minggu lalu akulah yang meneruskan informasi terkait bazar buku itu. Sekarang dia menolak untuk pergi bersamaku. Pengkhianatan apa yang lebih kejam daripada ini?

Sebenarnya aku bisa saja pergi sendiri, tetapi tidak mau. Aku kan ingin mengehemat dengan cara patungan membayar taksi online. Aku juga tidak sanggup kalau harus berjalan kaki delapan kilometer di bawah panasnya kota ini.

“Aku juga mau nambah koleksi!” Pada titik ini aku benar-benar merengek seperti anak kecil.

Maksudku, coba saja lihat katalog bukunya. Siapa yang tidak akan tergiur melihat novel terjemahan dengan judul terkenal, sekarang hanya tiga puluh persen harga asli? Shut up and take my monthly allowance!

“Kamu kira Profesor mau denger alasanmu?” dia mencibir sebelum akhirnya benar-benar pergi.

Tadinya aku ingin berseru protes sekali lagi. Namun, demi mendengar Profesor disebut, mulutku segera terkunci rapat. Benar juga. Diskon ini mungkin tidak akan dua kali, tetapi itu tidak sebanding dengan nilaku yang terancam. 

Aku mencoba kembali fokus pada layar laptop. Meski pada akhirnya sama saja, tidak ada progress. Deretan kurva normal yang meliuk-liuk mulai terlihat seperti cacing. Bahkan saat membaca ulang buku referensi, rasanya seolah membaca manuskrip yang ditulis dalam bahasa alien kuno.

“Argh! Aku nggak ngerti,” aku memekik, benar-benar lupa kalau sedang ada di selasar fakultas. Orang-orang sontak menoleh heran. Sebagian seperti sedang menimbang situasi, haruskah diriku dievakuasi menuju Unit Konsultasi Psikologi di lantai dua. 

Aku tersenyum canggung lalu lekas membawa barang-barangku, termasuk laptop yang masih menyala. Aku kabur menuju ke arah gedung perpustakaan, lantas memilih duduk di spot paling tersembunyi di balik loker. Kalau sampai ada yang sadar aku adalah makhluk yang mengalami tantrum di selasar, mau ditaruh di mana wajahku.

“Angka segini datangnya dari mana, sih?” aku mendesis. Yah, suasananya memang sedikit tenang, tetapi tenang saja tidak cukup untuk membuatku paham cara kerja analisis ini. Lima belas menit berikutnya alih-alih tetap fokus, aku sampai di titik di mana aku mulai mempertanyakan hidupku.

Among The StardustWo Geschichten leben. Entdecke jetzt