Agnes - Violet Colored Melody

13 2 20
                                    

Beberapa jam setelah insiden di hari pertama sekolah, barulah aku paham.

Pantas saja Erick tidak jadi kaget ketika aku spontan menyebut namanya. Dia ternyata memang populer. Seisi kota—kecuali aku—mengenalnya sebagai sang kakak tertua dari tiga Edward bersaudara. Rumornya, keluarga itu memiliki kekayaan yang cukup untuk membiayai seluruh siswa di sekolah ini kuliah di Oxford University.

Adik laki-lakinya yang bernama Steven, menurut kabar, lebih tertarik untuk menjadi ilmuwan daripada pengusaha seperti sang ayah. Adiknya yang satu lagi tak jauh berbeda. Sehingga, Erick adalah kandidat pewaris dari sebagian besar aset keluarga.

Yah, pantas saja Erick sangat populer. Gadis normal mana coba yang tidak tertarik dengan cowok good looking sekaligus good rekening seperti itu? Apalagi kalau meilhat skor hasil tes masuk. Siapa pun pasti akan berpikir dia nyaris sempurna.

Meski begitu, dia cukup menyenangkan. Bukan seperti anak keluarga elite menyebalkan yang suka pamer harta kekayaan orang tua. Dia mudah berbaur dengan siapa saja, termasuk para penerima beasiswa seperti aku.

Oh, ya. Erick benar-benar datang di kontes biolaku. Aku terkejut. Padahal hari itu aku tak begitu serius mengharapkan kedatangannya. Lagi pula, dia pernah bercerita soal kesibukannya sepulang sekolah. Entah itu latihan karate, atau les piano.

Namun, laki-laki itu hanya tertawa sambil mengatakan bahwa dia ingin melihat si pemenang—aku yang bahkan belum mendapat giliran tampil. Dia juga berjanji akan menunjukkan permainan pianonya jika aku menang. Kupikir dia hanya mencoba menyemangatiku. Sampai akhirnya, namaku benar-benar terpampang di papan pengumuman sebagai peserta di urutan pertama.

Ya, dan di sinilah aku sekarang. Di depan kelasnya, ingin menagih janji itu setelah pulang sekolah.

Kami tidak satu kelas. Erick adalah satu dari tiga puluh siswa brilian yang menempati di kelas X IPS 1. Jujur saja, aku yang masih penasaran pada sosoknya sempat menyayangkan hal itu. Akan tetapi, setelah melihat seberapa kompetitif penghuni di sana, aku langsung mengucap syukur karena ditempatkan di kelas sebelahnya.

Lihat saja sekarang. Bahkan ketika pelajaran terakhir adalah sejarah, mereka masih semangat. Bel pertanda berakhirnya pelajaran sudah berbunyi dari lima menit yang lalu. Namun, bukannya bersiap-siap pulang, mereka lebih tertarik melanjutkan diskusi.

Aku mengintip dari jendela. Saking fokusnya, siswa lain seperti tidak menyadari ada orang asing yang sedang menyimak. Di depan kelas, tampak seorang laki-laki yang sepertinya sedang melakukan presentasi. Satu orang lagi berdiri dari posisi duduknya, sedang menanggapi. Ia berambut cokelat gelap. Tidak salah lagi, itu pasti Erick.

"Apa sebenernya yang kamu sanggah dari tadi? Semua yang tertulis di sini fakta sejarah. Perang itu punya andil dalam peradaban manusia. Dan suka nggak suka, sejarah memang mencatatnya begini." Laki-laki di depan kelas mengarahkan telunjuknya ke papan tulis yang menjadi layar proyektor.

Dengan sikap kalemnya yang biasa, Erick menanggapi, "Aku paham maksudmu. Tapi kamu lupa satu hal penting. Justru karena termasuk bagian dari sejarah, bagaimanapun, perang tet—"

"Sudah cukup." Cowok itu tidak melanjutkan ucapannya karena interupsi dari Pak Raka. "Waktu kita ternyata sudah habis. Ini diskusi yang seru, ya. Erick, gagasanmu menarik sekali. Terima kasih. Silakan kembali, Ivan. Presentasimu juga hebat."

Penghuni kelas itu serempak bertepuk tangan. Beberapa dari mereka menoleh ke arahku penuh tanda tanya, seperti baru terbangun dari mimpi. Ya sudahlah. Mungkin otak mereka diciptakan sedikit berbeda. Yang terpenting sekarang adalah orang yang kutunggu sudah mulai berkemas.

"Akhirnya kelar. Jujur, tadi itu keren banget." Aku menyambut Erick yang keluar kelas lalu berjalan ke arahku.

Dia menanggapi kalimat bernada pujian dariku dengan tertawa. "Satu kelas jadi pulang telat gara-gara aku. Maaf, ya. Kamu juga jadi nunggu lama."

Among The StardustHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin