07

6K 838 32
                                    

Saat ini Askar berada di gendongan Kenzo. Ya, Dokter Kenzo alias Abang dari Alaskar Kenzie Argantara.

Plester demam, dan infus, kini terpasang apik di tubuh Askar, rengekan yang terus meminta Kenzo untuk tidak melepaskannya masih terdengar meskipun Kenzo sudah menggendong Askar.

"Jangan pulang... hiks... Askar mau sama Abang aja." Kenzo lagi-lagi hanya mengangguk pasrah, sebenarnya ia sedari tadi merasakan aura suram dari belakang punggungnya, dari Levan, Alvas, Arsel, dan juga Thavilo.

Kenzo peka kok, kalian nggak mau Askar deket-deket ke dia, tapi plis Kenzo juga tertekan tau.

"Abang gak bakal tinggalin Askar 'kan?"

Abang, jangan tinggalin Zie sendiri ya?

"Abang, jangan pergi dari Askar, please... hiks..."

Jangan pergi, Bang. Gue takut.

"Abang gak akan tinggalin Askar, sekarang Askar bobok ya, besok mau sekolah gak?" Kenzo berusaha mengalihkan perhatian Askar.

Sungguh, tiap kata yang keluar dari bibir Askar selalu mengingatkannya pada sang adik.

Akhirnya setelah perjuangan yang cukup panjang, Kenzo berhasil menidurkan Askar, meskipun ketika dibaringkan anak itu kembali membuka matanya, alhasil Kenzo masih menggendongnya.

"Om," panggil Kenzo. Thavilo menatapnya, memang keluarga Dirgantara tak asing lagi dengan Kenzo, Kendra, dan Kevin, jadi Kenzo terbiasa memanggil Thavilo dengan sebutan Om.

Untuk Kenzie, dan Arsky, keduanya tak pernah bertemu keluarga Dirgantara.

"Untuk pengobatan psikis Askar, apa tidak sebaiknya dilanjutkan saja? Masih ada psikolog selain adik Saya yang mungkin bisa menangani Askar." Kenzo mengutarakan apa yang dipikirkannya sejak tadi.

"Om sudah mencoba mencarikan psikolog lain, tapi..." Thavilo ragu.

"Tapi Tuan Askar menolak semuanya, Tuan Kenzo. Tuan Askar bilang ia sudah sembuh dan tak butuh psikolog lagi, pun Tuan Askar menolak untuk konsultasi lagi." Kenzo menghela nafas saat mendengar ucapan Fael. Tak hayal Kenzo juga memaklumi tingkah Askar, karena bagaimanapun adiknya adalah bagian terpenting dari hidup Alaskar Eljio.

"Tunggu, sepertinya ada yang bisa membantu..."

🍁🍁🍁

Askar tak tahu kenapa ia malah terjebak dengan sahabat lamanya, di satu ruangan yang sama, tak lain adalah kamar Eljio sendiri.

Harusnya pagi ini, ia terbangun di pelukan Kenzo, tapi malah mendapati Praditya Azval Dirgantara duduk di sofa kamar dengan menyilangkan kaki.

Askar jelas mengenalnya, sahabatnya semasa kuliah, sekaligus ahli psikologi juga. Rentetan pertanyaan dari Azval pun tak ia jawab, Askar malah fokus memperhatikan pintu kamar mandi.

Sejujurnya Askar agak was was, ia takut keceplosan menjawab pertanyaan Azval, karena pertanyaan dokter tersebut terkadang adalah jebakan.

Ia pernah secara gamblang ditanyai Azval soal kedekatannya dengan Mas Kendra, kakak keduanya, alhasil Azval malah mengetahui masalah keluarganya.

Askar tak bisa berkutik waktu itu.

"Askar, kamu benar-benar ingin mengabaikan kakak?" Azval bertanya lagi, kali ini dengan nada sedikit kesal.

"Risih," gumam Askar lirih. Azval tersenyum mendengar mendengarnya, tangan kanannya menulis cepat di buku yang sejak tadi ia siapkan.

"Anti sosial." Azval membatin sembari masih mengawasi Askar.

Askar menoleh begitu mendengar suara pena bergesekan dengan kertas. Kakinya melangkah mendekati Azval, sang dokter pun penasaran dengan apa yang dilakukan Askar.

Askar merebut buku bersampul abu-abu tersebut tanpa mengatakan apapun ia melemparnya ke arah pintu, Azval terkejut tapi wajahnya tak bereaksi sama sekali, itu pengusiran secara halus.

"Askar tidak mau bermain bersama kakak?" Mengabaikan pertanyaan Azval, remaja itu berlari ke arah pintu dan berusaha membukanya, namun nihil, pintu tersebut dikunci.

"Arkh! Sial! Thavilo bego! Anaknya malah suruh berhadapan sama dokter psikopet!!" batin Askar kesal.

Di lain sisi, Azval masih memperhatikan tindakan Askar, sesaat pria itu tersenyum, "Askar, ingin dengar cerita? Cerita tentang Mas Dokter?" Azval berusaha menarik perhatian Askar.

Sedikit saja, hal apapun yang penting bisa membuat Askar sedikit terbuka padanya.

"Kakak dan Mas Dokter adalah sahabat, dari masa kuliah, ada satu hari dimana dosen bertanya ke kami, apa tujuan kalian mengambil jurusan ini." Azval bahkan tak menyerah meskipun Askar malah asik bermain dengan buku abu-abu yang dilemparkan ke pintu tadi.

"Kamu tahu, jawaban Mas Dokter sangat lucu," ujar Azval. Askar mengernyit, ia saja sudah tak ingat tentang hal itu.

"Dia bilang psikolog itu adalah pekerjaan yang mudah, tidak perlu memegang pisau bedah."

"Nyatanya menjadi psikolog itu malah jadi jurang kegelapan untuk Mas Dokter," lanjut Azval, Askar menengok padanya, ia mengerutkan kening tanda tak setuju dengan ucapan Azval.

Azval bersorak dalam hati, setidaknya Askar memberikan atensi padanya.

"Sampai seseorang merubah caranya memandang dunia."

"Kayak lagu," ujar Askar membuat Azval terkekeh.

"Mas Dokter punya satu alasan untuk dia bertahan hidup, dan mempertahankan pekerjaannya sebagai seorang psikolog," ucap Azval.

"Apa itu?" Askar saja tidak tahu bahwa dia punya alasan untuk bertahan di pekerjaan menyulitkan itu.

"Kamu." Askar tersentak, ia ingat kenapa dirinya yang pemalas dan suka bergosip malah bertahan di dunia psikologi.

Ah, ia juga ingat, alasan dia ingin tetap hidup meskipun dibenci Kevin dan Kendra.

Untuk menyembuhkan mental Eljio.

"Lalu apa yang terjadi jika gu- aku yang mati bukan Mas Dokter?" tanya Askar sendu.

Azval sebenarnya enggan membahas soal kematian sahabatnya, tapi mau bagaimana lagi, topik pembicaraan ini satu-satunya yang dapat menarik perhatian Askar.

"Maaf, kakak tidak mau mengatakannya." Azval beranjak dari sofa dan menghampiri Askar, menarik lembut bukunya dari tangan Askar kemudian menggendong remaja itu.

"Katakan, apa yang terjadi jika aku yang mati bukan Mas Dokter?" Askar memaksa, meskipun tahu apa jawabannya, tapi Askar ingin melihat sejauh mana Azval mengenalnya.

"Dunianya runtuh, Askar. Alasan terakhirnya untuk bertahan sudah tak ada. Kamu paham sampai sini?" Nada bicara Azval agak ketus, wajahnya tak memperlihatkan kesedihan tetapi tatapannya tak bisa berbohong.

🍁🍁🍁

Setelah perdebatan panjang antara Askar dan Azval, kedua laki-laki berbeda umur itu tengah berada di meja makan, bersama dengan Thavilo, dan yang lainnya, tentu saja.

"Bagaimana?" tanya Thavilo pada sang keponakan.

Azval menggeleng lemah, "Nanti Azval bicarakan sama Om, berdua saja."

Askar hanya memandang mereka tanpa minat, ia seolah tak punya semangat hidup lagi.

"Tuan Askar, Anda tidak ingin makan?" Fael menghampiri Askar begitu melihat Askar tak kunjung memakan makanannya.

"Anda ingin Saya suapi, Tuan?" tawar Fael. Askar tak menjawab, ia hanya memandang Fael dengan tatapan kosong.

"Om Fael, sebenarnya Askar hidup untuk apa?"

✧༺🍁༻✧

Sorry, ngab, pendek, buntu banget wei, bingung mau dikemanain hubungan ini— eh cerita ini.

Sorry, hehe.

Maap ngelunjak, votenya jangan lupa ya.

AlaskarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang