EM-DASH 4

889 161 15
                                    

Bohong kalau Aksara mengatakan dirinya baik-baik saja di bawah tekanan intimidasi Akra. Sang kakak yang terpaut usia lima tahun lebih tua darinya itu menatap Aksara tajam. Lantas berdecih sambil memalingkan wajahnya. Aksara menunduk dalam-dalam.

"Puas lo bikin rencana gue berantakan?" desis Akra tajam.

Aksara beringsut mundur, tubuhnya terhimpit antara dinding dan Akra yang proporsi tubuhnya sudah hampir setinggi Axel. Aksara bak kurcaci mungil dalam kungkungan tubuh raksasa.

"Rencana makan malam di luar, Daddy yang nggak kerja, semuanya ancur gegara lo! Andai lo nggak muncul di ruang tamu, temen-temen gue nggak bakal nahan lo di sana! Dasar caper!"

Aksara berjengit mendengar bentakan Akra.

"Pembawa sial!"

Tertegun, Aksara lantas mendongak. Menampakkan wajahnya yang memerah menahan tangis, matanya yang bulat berkaca-kaca. Binar cerah masih bertahan di sana, menatap Akra dengan sisi polosnya yang khas, tatapan yang begitu jernih. Kilauan di sudut matanya jatuh menyusuri pipi. Giliran Akra yang tertegun. Dia melihat sorot mata bingung milik Aksara, dan baginya adalah hal yang baru. Bagi Akra, kenapa sisi putus asa Aksara sekarang menyenangkan sekali untuk dilihat?

Akra menundukkan wajahnya, dengan jarak yang hanya satu jengkal dengan wajah Aksara, ditatapnya lamat wajah sang adik yang menangis tanpa suara.

Tidak tahukah Akra bahwa ia telah membuat Aksara--yang bahkan baru berusia tiga belas tahun--terbebani dengan semua ucapannya? Tetapi dengan Aksara yang seperti itu, Akra menyeringai.

Dia mendekatkan wajahnya pada wajah Aksara yang begitu mungil. Kulitnya yang putih tampak kemerah-merahan alami, bibirnya yang kecil bergetar karena sesenggukan, justru membuat Akra merasakan aneh. Maka dari itu, dengan kesadaran penuh, Akra berbisik di depan bibir Aksara.

"Sejauh ini lo cuman jadi pengganggu."

Akra suka melihat Aksara putus asa. Tatapannya begitu indah, kosong dan hampa. Akra suka saat membuat Aksara terintimidasi. Membuat Akra seakan bisa menundukkannya, membuat Aksara patuh padanya.

| CERITA ANAK YANG DIABAIKAN |

Wajah Vero pucat.

Itu kesan pertama yang terbersit di benak Aksara kala melihat raut wajah ayahnya begitu lesu. Meja makan begitu hening, Aksara bisa melihatnya dari balik punggung Bi Galuh. Mungkin; Bi Galuh adalah satu-satunya orang yang sudi memperhatikan tumbuh kembang Aksara di kediaman ini. Sosok kepala keluarga Kartawinata yang dingin pada si bungsu membuat para pelayan sekalipun ikut mengabaikan Aksara.

"Aksa bisa telat kalo nggak ikut sarapan," tegur Bi Galuh. Wanita tua itu sibuk memasukkan isi bekal ke dalam kotak makan yang akan dibawa oleh Aksara.

Alih-alih menuruti perintah itu, Aksara malah memegangi ujung baju Bi Galuh, anak itu kini berdiri di sejajar di sebelahnya.

Mungkin juga; Aksara dianggap seperti manusia pada umumnya, si kecil yang butuh perhatian, dan sosok anak yang sebenarnya ingin bahagia bersama keluarga hanya oleh Bi Galuh.

Aksara tersenyum manis. "Bibi temani Aksa makan, ya?"

Bi Galuh menghela napas. Bukan hanya hari ini Aksa bertingkah sangat manja. Cenderung pemalu, sampai-sampai untuk memulai interaksi, Aksara akan kaku. Imbas dari penolakan yang dia dapatkan membuat Aksara sangat pasif.

Bukan hal yang tidak mungkin juga; Bi Galuh memperlakukan Aksara seperti cucunya sendiri.

"Duduk di kursi kamu, Aksa. Biar Bibi siapkan nasi sama lauknya," Bi Galuh berkacak pinggang.

EM-DASHWhere stories live. Discover now