|09| Teror

17 2 0
                                    

Selamat membaca

Chapter IXTeror

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Chapter IX
Teror

◆ ◇ ◆ ◇ ◆ ◇ ◆ ◇

"Kau serius, Sadam? Kita dilarang lho ke gedung D tanpa pengawasan!" 

Ian bertanya dengan mata sedikit melotot dan kedua belah bibir terbuka. Selain dirinya, ketiga lelaki lain turut serta menunjukkan keterkejutan mereka terhadap ide Sadam. Bahkan Davin yang menyetir hampir memberhentikan kendaraannya. 

"Ho-oh, yang bener aja, Sadam. Ya kali kita ke situ tanpa izin. Malam-malam lagi!" ucap Satria menambahi dan menyetujui ucapan Ian. 

Sadam sendiri memutar bola mata malas sembari menghela napas. Ia pun menatap lelaki-lelaki yang menaruh pandangan padanya. 

"Aku hanya memberi saran. Terserah kalian mau nerima atau tidak," balas Sadam kini memandang ke luar. 

Entah mengapa tak ada yang memulai pembicaraa sesudah Sadam berbicara. Semuanya tampak sibuk dengan pemikiran masing-masing. Entah mengapa pula suasana saat itu tak mendukung. Hawa sejuk kian menyengat walau AC tak menyala. 

Namun, suasana hening tersebut berakhir pecah ketika dering HP milik Davin berbunyi dan bergetar di saku celana lelaki itu. Alhasil Davin memelankan laju mobil dan menepikan kendaraannya. Kemudian Davin berusaha merogoh saku celana guna meraih benda canggih tadi lalu meletakkan di samping telinga. 

"Halo, Yah." 

Semua yang ada di dalam mobil memusatkan perhatian pada sang pengemudi. Seakan penasaran akan apa yang dibahas teman mereka dengan sosok di seberang sana. Terlebih Sadam yang tadinya asik menatap ke arah luar kini ikut mengalihkan perhatian pada Davin. 

"Hmmm, ini sudah mau pulang. Aku masih mengantar teman-teman dulu."

Setelah menyibukkan diri mengobrol dengan orang di telepon, Davin kembali memegang kemudi lalu melajukan mobil. 

"Pak Jimmy nelpon lagi?"

"Hmmm, ayah nyuruh pulang cepet. Gak tau mau ngapain," jawab Davin santai, masih memusatkan perhatian pada jalanan. 

Seolah tertarik 'tuk mengetahui Sadam mencondongkan tubuh. Kedua tangannya berada di kursi yang diduduki Ian dan Satria. 

"Bentar, Pak Jimmy, ada hubungan apa dengan Davin?"

Lantas Ian menoleh. Lelaki berkacamata itu mengernyitkan dahi dan bertanya apakah Sadam benar-benar tidak tau atau lupa. Namun, Satria mengingatkannya bahwa Sadam merupakan murid baru. 

"Oh iya, pantes kau gak tau. Sorry-sorry." Ian menyengir. 

"Jadi?" Sadam menelengkan kepala menatap Ian, seperti menuntut kawannya itu untuk menjawab. 

"Iya, Davin anak kandung Pak Jimmy, kepala sekolah kita. Jadi jangan heran kalau dia bisa bebas bawa mobil, haha," ucap Ian sedikit berbisik dan bernada candaan kepada Sadam. 




 

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.





Semilir angin malam itu seakan mampu membius siapa saja. Hawa dinginnya begitu menyengat sehingga siapa pun harus memakai baju panas maupun pelindung lainnya. 

Di satu rumah, seorang remaja lelaki tengah berjalan mendekati lemari seraya memeluk tubuh sendiri. Tubuhnya sedikit gemetar, gigi bergemelatuk, sementara mata kian berat. 

"Duh, dingin banget. Malah ngantuk banget lagi!" kata Tedy kini membuka lemari dan mulai mencari-cari pelindung tubuh. Setelah mendapat jaket dan memakainya ia berjalan keluar kamar dan menuju dapur. 

Setibanya di meja berisi bumbu dapur dan peralatan lainnya, lelaki berambut pendek hitam itu meraih gelas. Ia pun menuangkan air putih ke dalam gelas lalu mengarahkan benda tersebut ke mulut. 

Sesudah melegakan dahaga, Tedy kembali berjalan ke kamar. Langkanya tak terburu-buru, malah terkesan lambat agar tak menabrak benda apapun mengingat lampu telah padam. Saat tubuhnya berada di depan kamar dan tangan hendak memutar knop pintu, mendadak ada suara bergema. Tak sekadar suara, tetapi udara dingin langsung hadir melewatinya begitu saja. 

Sontak ia berbalik dan menelisik seluruh penjuru ruangan. 

"Bang Roy? Ayah? Ibu?" teriaknya. Namun, orang yang dipanggil tak menyahut. Tak tau kenapa Tedy merasa bulu kuduknya meremang. Sampai-sampai ia mengusap lehernya sendiri tak ada tanda-tanda yang mengganggu. 

Tak mau berpikir buruk, Tedy memutuskan untuk masuk ke dalam kamar. Akan tetapi, saat pintu telah terbuka dan hendak melangkah malah ia mendengar sebuah langkah kaki berjalan cepat di belakangnya. Cepat-cepat Tedy berbalik untuk mengetahui sosok usil tersebut. 

"Siapa itu woy?!" Tak ada sahutan maupun tanda lain ketika Tedy berteriak. 

Ketegangan pun mulai menaik kala terdengar suara barang berjatuhan dari dapur. Hal tersebut membuat lelaki tadi meneguk ludah. Entah keberanian dari mana Tedy malah berjalan menuju dapur. 

Sebelum sampai ke ruang tempat suara tadi berasal, Tedy memutuskan untuk bersembunyi di balik pintu dekat dapur. Matanya berusaha mencari siapa yang berada di dapur. Namun, bola mata lelaki itu membola besar kala melihat sosok pria dengan mulut robek berdiri menyamping dekat meja dapur. Hampir saja ia mengeluarkan teriakan sebelum tangannya menutup mulut. 

Tedy merasa ia harus pergi sebelum bersitatap. Ia hendak memutar badan secara perlahan, tetapi sosok tadi malah berdiri di depannya sambil berteriak, "MENGAKU ATAU MATI?!!!"

"ARGGHHH!"

Tiba-tiba Tedy terbangun dari mimpi. Dadanya naik turun, napas tak terkontrol, dan sekujur tubuh dipenuhi keringat.


Bersambung

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Bersambung

◆ ◇ ◆ ◇ ◆ ◇ ◆ ◇

SIURUPANWhere stories live. Discover now