1. Nefer IV

155 21 33
                                    

Ketika usianya empat belas tahun, seorang pria cabul berani menyentuhnya secara tidak senonoh dan Amanda mematahkan jemari tangan orang itu. Dua tahun kemudian, jumlah pria yang dia lawan dengan tangan kosong bertambah menjadi tiga orang, dan sementara gadis itu lolos dari medan perkelahian hanya dengan lecet dan hidung serta kelingking yang patah, ketiga lawannya masuk rumah sakit karena gegar otak, patah tulang dan rusuk yang memar. Itu tidak bisa dihindari. Amanda tumbuh di lingkungan yang keras—ayahnya mantan petinju duel ilegal bawah tanah dan ibunya, jika cerita-cerita yang Amanda dengar benar, menikah dengan ayahnya karena wanita itu berhasil membuat ayah Amanda bertekuk lutut; dan bukan dalam artian romantis. Kakek dari ibunya adalah bekas tentara pra dan pasca kemerdekaan. Darah pejuang yang ganas mengalir dalam dirinya.

Amanda telah menerima bogem mentah lebih dari yang gadis seusianya pada umumnya mampu terima sebelum pingsan dan koma selama satu minggu. Tapi tidak satu pun hal yang pernah ia alami itu menyiapkannya untuk hal ini: Natascha meninggal.

Dan karena Amanda memiliki pangkat sebagai tangan kanan Nefer III hal pertama yang dia pikirkan dan harus dia lakukan adalah: Sovia harus diberi tahu.

Begitu kabar itu menyebar dan tubuh kaku tak bernyawa di tengah jalan itu telah positif diidentifikasi sebagai Natascha yang ia kenal, 23 tahun dan belum menikah, Amanda tahu dia tidak diberikan waktu untuk berduka cita karena kehilangan saudarinya. Belum. Ada waktu untuk itu lain kali, tapi saat ini dia bergerak bukan sebagai Amanda, melainkan Mutny.

Karena itulah, terlepas dari kehampaan yang menggerogoti hatinya dari dalam, Amanda—bukan, Mutny—berdiri di depan pintu berwarna biru polos dengan ventilasi di bagian bawah dan lubang pengintip yang sejajar dengan matanya, punggung tangannya terangkat dan menghadap ke pintu, siap mengetuk ketika gemerincing rantai terdengar dan pintu itu terbuka.

Di hadapannya, berdiri seorang gadis berusia lebih muda dengan rambut hitam pendek dengan sisi-sisi rata. Alisnya tebal, terangkat naik dan menukik tajam ke bawah di sisi-sisi luarnya; menggantung rendah di atas sepasang bola mata berwarna cokelat gelap yang biasanya menyembunyikan emosi dengan baik. Tapi kali ini, mata itu membara dan bahkan Mutny sekalipun merasa sedikit terintimidasi.

"Mutny," angguk gadis itu menyapa. Dia bergeser ke samping, memberi Mutny ruang untuk masuk. Mutny berjalan melangkahi ambang pintu dan serta merta pindah ke satu ruangan luas, hanya berisi TV tua di satu sisi, lemari baju di sampingnya, sebuah sofa panjang tua yang diubah menjadi tempat tidur; menempel pada dinding kamar mandi dan dapur di sisi lain. Ruangan itu rapi dan bersih; tidak ada barang-barang pribadi untuk dipamerkan—foto, perhiasan, apa pun. Sang penghuni bisa meninggalkan tempat ini dalam sekejap dan tidak perlu kembali lagi.

Gadis itu berjalan mendului Mutny dan menarik satu dari dua kursi di meja makan kecil di wilayah dapur. Mutny menerima undangan itu dengan patuh dan duduk sementara gadis itu mulai membuka kabinet.

"Jadi kamu udah tahu." Itu adalah pernyataan, bukan pertanyaan.

Gadis itu mengangguk, punggungnya yang dibalut kaus putih polos tampak tegap di hadapan Mut. "Kecelakaan beruntun, tiga mobil dan dua motor. Cuma satu korban jiwa. Mobil yang menyebabkan kecelakaan lenyap begitu orang-orang memalingkan muka dari Nefer. Kebetulan?"

Mut menarik napas. "Berarti kita sependapat."

Gadis itu menarik keluar sebuah mug berwarna merah dan satu sachet teh celup. "Tapi mau gimanapun juga, kita gak punya bukti."

"Bersih; gak ada jejak satu pun."

Air panas mengucur keluar dari dispenser, mengisi mug dengan cairan kemerahan saat beradu dengan kantung teh. "Mereka bahkan gak nemu jejak ban?"

[ID] Femme Fatale | Novel: Old Version, CancelledOnde as histórias ganham vida. Descobre agora