9. Eva

53 10 0
                                    

Gadis itu berjalan melewati jalanan kota yang tumben-tumbennya sepi; jalan raya hanya sesekali dilewati oleh motor dan mobil, dua kali orang bersepeda lewat, dan pejalan kaki pun jarang-jarang berpapasan dengannya. Hari itu angin bertiup kencang dan dingin, seolah berusaha menyampaikan pesan bahwa sesuatu akan terjadi pada hari itu, tetapi alih-alih terbawa suasana kota yang sepi dan berangin dengan kuat, gadis itu mendumal dalam hati karena rambutnya jadi acak-acakan padahal ia menghabiskan waktu cukup lama untuk menatanya. Jaket kulit dalam pelukannya ia pegang erat-erat, takut angin akan menerbangkannya jauh-jauh.

Ia memasuki distrik perbelanjaan di kota; toko-toko berjajar menawarkan beraneka ragam barang dagangan: baju, oleh-oleh, makanan, kopi ... hal-hal tak penting yang tampaknya menurut orang lain cukup penting.

Di antara toko-toko yang berukuran tak terlalu besar dan mengintimidasi seperti pusat distrik hiburan di kota, gadis itu baru hendak berbelok memasuki sebuah minimarket saat ia melihat orang-orang yang berada di dalamnya dari balik kaca jendela yang transparan.

Di balik meja kasir, Nefer-nya yang masih babak belur dengan memar-memar di bagian kulit yang tak tertutup oleh seragam mengobrol serius dengan seorang gadis yang mengenakan kemeja tanpa lengan serta kupluk berwarna merah di atas ikal rambut yang berhasil lolos. Langkah gadis itu terhenti mendadak. Ia tidak akan masuk.

Tidak dengan Mutny di sana.

Jadi ia berbalik, jaket kulit milik Nefer ia dekap di depan perutnya untuk menghalau angin yang semakin kencang dan berjalan dengan kepala ditundukkan. Ada tempat lain yang bisa ia tuju. Pulang.

Gadis itu pergi meninggalkan distrik perbelanjaan tersebut dan memberhentikan taksi di ujung jalan. "Jalan Prahu, Pak." Sopir taksi tersebut mengangguk tanpa berkata-kata dan gadis itu menyandarkan keningnya ke jendela, menatap gedung-gedung yang ia lewati; jalanan yang sepi seolah kota tersebut sedang berada dalam keadaan koma.

Mengingat kota tersebut dipenuhi geng yang terang-terangan aktif, orang akan mengira penduduk sipil lainnya yang tak memiliki kaitan apa pun dengan geng manapun akan lebih sering beraktivitas pada siang hari, ketika aktivitas geng sedang sepi-sepinya. Namun alih-alih demikian, kota tersebut jauh lebih hidup pada malam hari, dengan lampu-lampu yang menyala terang di beberapa tempat dan meninggalkan sudut-sudut lebih gelap, distrik hiburan yang memperdengarkan suara-suara keras dan lampu yang menyorot membutakan. Bahkan anak-anak sekolah pun akan langsung pulang seusai sekolah, tidur, dan bersenang-senang pada malam hari.

Gadis itu tidak dilahirkan di kota ini, tapi pesona malam harinya memang cukup menakjubkan untuk menjerat nyaris siapa pun dan dirinya bukan pengecualian. Dan ia mendapati jalanan yang sepi pada siang hari—meski hari ini jauh lebih sepi dari biasanya—juga memiliki daya tarik tersendiri.

"Jalan Prahu?" pertanyaan sopir taksi membuyarkan lamunan gadis itu.

"Ah, iya," jawabnya, menyadari ia telah sampai di pertigaan Jalan Prahu. "Di sini aja, Pak." Ia melirik argo taksi dan memberikan uang yang dibulatkan ke atas. "Ambil aja kembaliannya."

"'Makasih, mbak."

Gadis itu menyembunyikan ringisannya dan memanjat keluar dari taksi. "Kembali," gumamnya. Jaket kulit milik Nefer kembali ia lipat di atas lengannya dan ia berjalan menyusuri trotoar melewati gedung-gedung dua dan tiga tingkat tempat orang-orang menyewa apartemen, tiap lantai dapat menampung satu sampai dua keluarga sekaligus. Di gedung apartemennya, gadis itu baru hendak membuka pintu ketika pintunya terbuka dari dalam. Ia bertukar senyum dengan orang yang berbagi gedung dengannya dan berjalan masuk, menaiki tangga menuju lantai atas dan membuka kunci salah satu pintu yang ada di sana.

Ia disambut oleh aroma kental rempah-rempah dan daging yang sedang dimasak. "Pulaang," umumnya. Jaket kulit milik Nefer ia letakkan di atas sofa yang menghadap pintu masuk, berseberangan dengan televisi. Kunci rumahnya ia lempar ke atas meja kopi yang berada di antara TV dan sofa, sementara sepatunya ia lepaskan begitu saja. "Mas Tony?"

[ID] Femme Fatale | Novel: Old Version, CancelledTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang